Rabu, 18 September 2019
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Presiden Joko Widodo mengatakan, isu kemajukan bukan semata-mata isu sosial atau isu-isu politik. Tetapi penerimaan terhadap kemajemukan adalah juga menjadi isu pembangunan ekonomi.
“Tanpa adanya penerimaan terhadap kemajemukan, tanpa adanya penerimaan terhadap anggota warga dengan latar belakang yang berbeda-beda, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang tertutup dan tidak berkembang,” kata Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara Pembukaan Forum Titik Temu “Kerja Sama Multikultural untuk Persatuan dan Keadilan” di Makara Ballroom, Hotel Double Tree Hilton, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (18/9) pagi.
Untuk itu Kepala Negara mengajak kembali kepada semangat berdirinya negara ini, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Yang mampu mengelola kemajemukan di internal bangsa kita, yang bisa menjadi teladan, menjadi panutan dunia dalam merawat toleransi dan persatuan, dan juga berani terbuka untuk kemajuan bangsa. Jadi Kebutuhan Sebelumnya pada awal sambutannya Presiden Jokowi mengemukakan, sejalan dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi, bukan hanya lalu lintas informasi yang meningkat sekarang ini tetapi juga lalu lintas manusia. Lalu lintas orang antar daerah, lalu lintas orang antar negara juga terus meningkat.
Menurut Kepala Negara, orang bergerak dari satu daerah ke daerah yang lain karena infrastrukturnya semakin baik. Orang bergerak dari satu negara ke negara yang lain karena konektivitasnya juga semakin baik untuk berbagai alasan, bisa untuk berwisata, bisa untuk bekerja, bisa untuk berbisnis, dan bisa untuk kegiatan-kegiatan yang lainnya. Baik dalam waktu harian, jangka waktu yang pendek, beberapa bulan, berapa tahun dan bahkan menetap selamanya.
Oleh karena itu, Kepala Negara meyakini masyarakat kita dan juga masyarakat dunia ke depan akan semakin majemuk. Semakin majemuk dalam suku maupun etnis, lanjut Presiden, semakin majemuk dalam adat dan budaya, dan semakin majemuk pula dalam agama.
“Kemajemukan itu bukan semata-mata akibat dari perkembangan zaman yang tidak bisa kita hindari. Tetapi kemajemukan itu adalah sebuah kebutuhan, karena kemajemukan akan membuat kita semakin kaya imajinasi untuk berinovasi. Kemajemukan membuat kita akan semakin matang, semakin dewasa. Dan kemajemukan itu akan menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kemajuan ekonomi,” ujar Kepala Negara, dikutip laman Sekretariat Kabinet.
Ke depan, lanjut Kepala Negara, keberhasilan sebuah negara, keberhasilan sebuah daerah dan keberhasilan sebuah masyarakat akan sangat ditentukan oleh derajat penerimaannya terhadap kemajemukan. Semakin sebuah masyarakat bisa menerima kemajemukan, maka akan semakin diminati, akan semakin dikunjungi, akan semakin didatangi. Dan akhirnya akan semakin mampu mendongkrak kesejahteraan ekonomi masyarakat di daerah itu atau di negara itu.
“Alhamdulillah kita patut bersyukur, Indonesia adalah negara majemuk yang sejak awal berdirinya,” kata Kepala Negara seraya menambahkan, bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang ‘bhinneka’, yang berbeda suku, berbeda agama, berbeda budaya. Tetapi Indonesia adalah bangsa yang ‘Tunggal Ika’, yang bersatu dalam perbedaan. Forum Titik Temu merupakan tempat berkumpulnya civil society yang berorientasi pada gerakan kultural yang diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute.
Dalam kesempatan itu juga dibacakan Deklarasi Forum Titik Temu yang disampaikan sebagai respons atas perkembangan situasi dan kondisi politik di tanah air saat ini. Tampak hadir dalam kesempatan itu antara lain Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Mendikbud Muhadjir Effendy, Mensesneg Pratikno, Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno, ulama Prof. Dr. Quraish Shihab, Sinta Nuriyah Wahid, dan Komariah Nurcholis Majid (istri almarhum Nurcholis Majid). (rdy)