Kamis, 3 Oktober 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Indonesia diminta untuk melakukan antisipasi terhadap
ancaman resesi ekonomi di tengah kondisi politik dalam negeri yang dinilai
belum stabil.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan,
Kamis (3/10), mengatakan langkah preventif yang dilakukan pemerintah sangat
diperlukan untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global.
“Kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis
dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% di tengah kondisi riil saat ini yang masih bertengger
pada level 5,08%. Walaupun demikian, pemerintah tetap perlu terus mewaspadai
ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan,” katanya.
Pingkan mengungkapkan setidaknya ada dua faktor utama yang perlu diantisipasi
oleh pemerintah dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang berada di ambang
resesi ini.
Pertama adalah faktor internal yang mencakup stabilitas kondisi sosial-politik
yang berdampak pada pertumbuhan investasi. Hal itu dilihat dari dinamika
sosial-politik dalam negeri dalam beberapa minggu belakangan ini yang ditandai
dengan masih adanya gelombang demonstrasi menuntut parlemen meninjau kembali
beberapa RUU yang dinilai mengandung pasal-pasal kontroversial dan merugikan
masyarakat.
Masyarakat dari berbagai lapisan turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka.
Sayangnya, beberapa di antara demonstrasi tersebut berujung ricuh dan mendorong
sentimen negatif dalam pasar sehingga membuat investor mengambil langkah wait
and see.
“Faktor berikutnya adalah faktor eksternal yang mencakup kondisi
perekonomian dari negara-negara mitra dagang maupun para penanam modal asing.
Hal ini tentu mengancam iklim investasi di Indonesia. Pemerintah harus waspada
karena resesi ekonomi dapat menyebar dengan cepat,” tambah Pingkan.
Ia menuturkan memasuki kuartal terakhir pada 2019, perekonomian global masih
kian melesu. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF) hingga Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD)
pun kerap mengoreksi pertumbuhan ekonomi global sejak dua kuartal belakangan.
(ki)