Kamis, 17 Oktober 2019
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Ketua Pukat UGM Oce Madril mengungkapkan berbagai kasus korupsi yang menjerat kepala daerah menunjukkan tidak ada perubahan yang dilakukan pemerintah terkait tata kelola di daerah.
“Selain itu, kepala daerah kita masih menggunakan cara-cara koruptif untuk memerlukan sejumlah keuntungan tertentu, termasuk untuk kepentingan politik,” ungkap Oce, demikian dikutip viva.co.id.
Merujuk data KPK, OTT yang dilakukan terhadap Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, merupakan OTT ke-128 yang dilakukan KPK sejak 2005.
Kabiro Humas KPK Febri Diansyah menyebut dari jumlah tersebut, 126 OTT sudah masuk ke tahap penyidikan.
Dia menambahkan, 444 orang tersangka kasus korupsi hasil dari OTT kini sedang diproses KPK.
“OTT ini memang tidak disukai oleh para pejabat korup. Karena sifatnya yang seketika terjadi tanpa bisa diperkirakan oleh mereka. Dan proses penyidikan hingga persidangan juga cepat dan terukur. Kesempatan menghilangkan atau mengaburkan bukti juga lebih sulit,” ujar Febri seperti dikutip dari detik.com.
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi landasan hukum implementasi OTT.
Namun Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesian Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, memandang undang-undang yang baru dianggap melemahkan KPK, karena akan mempersulit KPK dalam melakukan OTT ke depan.
Pasalnya, penyadapan hingga penggeledahan harus melalui izin Dewan Pengawas yang diamanatkan undang-undang tersebut.
“Izinnya akan sulit, karena OTT base-nya adalah penyadapan dan penyadapan harus melalui Dewan Pengawas, terlalu birokratis dan tidak cepat,” ujar Kurnia.
Senada dengan Kurnia, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, menyebut semakin panjangnya birokrasi dan semakin banyaknya pihak yang terkait, maka penyadapan yang dilakukan setelah Undang-Undang ini diterapkan “menyulitkan proses” dan ” menghambat kewenangan KPK”
“Sedangkan dalam praktik tangkap tangan yang diperlukan adalah ketelitian dan kecepatan untuk mengambil keputusan. Ini akan lebih sulit dan menjadi penghambat pelaksanaan kewenangan KPK,” ujar Fajri.
Sementara, menurut Oce Madril, dengan adanya undang-undang KPK yang baru “akan lebih memanjakan para koruptor” karena ke depan OTT akan lebih sulit dilakukan.
“Dan kita tahu yang diungkap dengan cara OTT adalah transaksi suap, yang pembuktiannya cukup sulit. Sehingga, ke depan, transaksi suap akan marak terjadi. Karena satu-satunya cara untuk mengungkap korupsi dalam bentuk suap adalah dengan operasi tangkap tangan dan itu melalui penyadapan,” jelas Oce.
`KPK berada di bawah tekanan`
Selain itu, kewenangan baru KPK yang bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun itu dinilai Oce Madril bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan justru membuat KPK berada di bawah tekanan.
“Tentunya dibukanya peluang itu akan membuat KPK di bawah tekanan karena tentu setelah ini akan banyak pihak yang meminta dan mendesak KPK agar menghentikan perkara-perkara yang lebih dari dua tahun dan itu belum selesai,” kata Oce.
Kekhawatiran yang sama diungkapkan oleh Kurnia Ramadhana dari ICW yang menyebut penghentian kasus yang penanganan kasusnya melebihi dua tahun itu akan “berimplikasi buruk pada kelembagaan KPK”.
“Kita bisa melihat kasus yang di bawah tahun 2017, ada lebih dari 10 kasus besar yang ditangani KPK dan memang harus dipahami bahwa tidak tepat memberikan tengat waktu dalam penerbitan SP3 karena kan setiap perkara tingkat kerumitannya berbeda,” ujarnya.
Dia mencontohkan, kasus-kasus korupsi besar yang saat ini sedang ditangani KPK antara lain kasus KTP elektronik dengan kerugian negara Rp 2,7 triliun. Selain itu, ada kasus BLBI dengan kerugian negara Rp 4,8 triliun, dan ada kasus besar lain seperti bailout Bank Century.
“Kalau kita bicara tangkap tangan kan konstruksi perkaranya sangat mudah. Dengan modal penyadapan sudah terbukti di persidangan. Tapi kalau kasus-kasus besar yang berkaitan soal perbankan misalnya, itu kan membutuhkan waktu yang cukup panjang,” imbuh Kurnia.
Namun, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menegaskan, meski undang-undang yang baru mulai berlaku, proses penanganan kasus masih merujuk pada undang-undang KPK lama yang diterbitkan pada 2002 silam.
Pasalnya, hingga kini belum ada aturan turunan sebagai petunjuk teknis undang-undang itu. Apalagi, hingga kini, Presiden Joko Widodo belum membentuk Dewan Pengawas.
“Jadi kalau ditanya sampai dengan undang-undang itu perlengkapannya ada kami akan tetap memakai undang-undang 2002, artinya apa yang disebut orang OTT berhenti, tentu tidak terus kasus yang lama berhenti, kita akan terus lanjut,” ujar Saut.
Dia pula mengimbau masyarakat agar “tidak ragu” dengan penanganan kasus-kasus korupsi, terutama kasus korupsi besar, pascapenerapan undang-undang baru.
“Kasus-kasus besar itu, itu semuanya prudent. Kalau kia bicara BLBI itu kan sudah jelas putusan Budi Mulia, kalau bicara [kasus] Century, kita akan PK nanti,” kata Saut. (au)
[ajukan]