Kamis, 26 Desember 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM- PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau IPC, sebagai BUMN
operator pelabuhan berkomitmen untuk memberantas semua bentuk pelanggaran,
tindak pidana, termasuk pungutan liar (Pungli) di pelabuhan.
Direktur Utama IPC, Elvyn G. Masassya di Jakarta, Rabu (25/12), menegaskan
pihaknya tidak akan mentoleransi pelanggaran terutama yang bertujuan mencari
keuntungan pribadi oleh oknum petugas di lingkungan pelabuhan.
“Jika ditemukan bukti pelanggaran, tindak pidana, termasuk pungli oleh oknum di
pelabuhan, maka IPC dan saya yakin semua instansi pemerintah maupun swasta di
lingkungan pelabuhan akan memberikan tindakan keras, dan mendorong untuk
diproses sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang ada,” kata Elvyn.
Elvyn mengatakan, saat ini IPC sedang fokus mewujudkan misi korporasi menjadi
pelabuhan kelas dunia yang unggul dalam operasional dan pelayanan.
Untuk itu pihaknya berkepentingan memberikan pelayanan yang lebih cepat, lebih
mudah, dan efisien demi memajukan sektor logistik di tanah air.
Sesuai dengan misi pemerintah menurunkan biaya logistik, kata Elvyn, IPC siap
memberikan pelayanan yang mudah, transparan, dan akuntabel bagi semua pengguna
jasa dan pelanggan.
Dengan demikian, tidak ada tempat bagi oknum tertentu di pelabuhan melakukan
pelanggaran, termasuk pungli.
“Sekarang semua aktivitas dan operasional di pelabuhan, terutama di Tanjung
Priok termonitor secara digital. Salah satu tujuan semua ini adalah supaya
tidak terjadi ekonomi biaya tinggi yang menambah beban biaya logistik secara
keseluruhan,” katanya.
Sementara itu, Direktur The National Maritime Institute (Namarim), Siswanto
Rusdi mengatakan, saat ini pungli memang sulit ditemukan di lapangan, terutama
di terminal-terminal Pelabuhan Tanjung Priok.
Digitalisasi yang dimulai dari penerapan Autogate System di gerbang pelabuhan
tak lagi memungkinkan terjadinya interaksi pembayaran tunai oleh pengguna jasa
dan konsumen.
Meski demikian, menurutnya, ada banyak faktor mengapa biaya logistik masih
tinggi. Potensi biaya siluman bisa tersebar di seluruh stakeholder pelabuhan,
mengingat di sana ada 18 instansi yang berperan sebagai regulator maupun
operator.
“Tingginya biaya logistik tak lepas dari tingginya pergerakan peti kemas. Ada
aturan Kemenhub misalnya, bahwa dalam waktu tiga hari, selesai atau tidak
pengurusan dokumen, peti kemas harus keluar ke Pusat Logistik Berikat (PLB).
Kemudian PLB banyak dibangun setelah isu dweling time bergulir pada 2014 -2019.
Keberadaan PLB ini dimotori oleh teman-teman di Bea dan Cukai,” ujarnya.
Siswanto menjelaskan, dalam sistem kepelabuhanan di Indonesia, ada institusi
dengan fungsi dan kewenangan yang signifikan, yaitu Otoritas Pelabuhan.
Instansi di bawah Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan ini hadir
tak lama setelah UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran disahkan. Instansi
ini ada di empat pelabuhan utama yakni di Belawan, Tanjung Priok, Tanjung
Perak, dan Makassar.
Keberadaannya signifikan karena Otoritas Pelabuhan (OP) mewakili pemerintah
sebagai regulator yang sebelumnya dipegang oleh PT Pelabuhan Indonesia atau
Pelindo. Dengan kewenangannya, OP mengatur penyewaan lahan pelabuhan berikut
infrastruktur lainnya.
Masalah lain yang penting untuk diselesaikan, lanjut Siswanto, adalah
keberadaan fasilitas aparat keamanan, yang berpotensi dimanfaatkan untuk
kebutuhan lain di luar dari tugas pokoknya. Selain itu, aksi premanisme
terorganisir juga masih marak di luar area pelabuhan.
“Kalau semua ini dibereskan, maka ada harapan biaya logistik bisa ditekan,”
katanya. (sr)