Kamis, 23 Januari 2020
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM- Rencana pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai justru
akan menurunkan kepercayaan para investor terhadap Indonesia.
“Ini berbahaya untuk kepercayaan investor karena seolah-olah kita ini terhadap
kelembagaan negara itu tidak ada kepercayaan jangka panjang,” kata Ekonom
Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani di
Jakarta, Rabu (22/1).
Menurut dia, jika kinerja OJK dinilai belum optimal dalam melakukan
pengawasan terhadap suatu lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan
maka seharusnya sistem pengawasannya yang diperkuat dan diperbaiki.
“Kalau ada masalah jangan dapurnya yang dibakar tapi bagaimana memperbaiki
sistem yang menjadi masukan dari masyarakat. Misalnya yang non bank banyak
masalah jadi diperbaiki dari OJK sistem pengawasannya,” jelasnya.
Tak hanya itu, Aviliani mengatakan bahwa saat ini pihak OJK telah berusaha
untuk membuat suatu sistem pengawasan terhadap sektor non perbankan agar dapat
sama ketatnya dengan perbankan.
“Menurut saya saat ini OJK itu sudah mulai memikirkan bagaimana memperketat
sektor yang non keuangan supaya dia bisa seketat sektor perbankan,” katanya.
Aviliani menjelaskan ke depannya OJK perlu membuat sistem serta aturan yang
lebih baik dan jelas termasuk terkait diperbolehkan atau tidaknya sebuah
perusahaan asuransi untuk mengelola investasi.
“Artinya terdapat lembaga rangkap yang boleh mengeluarkan produk. Jadi harus
dipikirkan kembali biar asuransi fokus kepada asuransi yang ada misalnya
kesehatan dan jiwa serta bagaimana penempatan dananya,” katanya.
Hal tersebut harus dilakukan mengingat kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero)
yang mengelola dana nasabah dari premi asuransi sekaligus mengelola produk
investasi bancassurance dengan program Jiwasraya Saving Plan.
“Jiwasraya Saving Plan itu kan model bancassurance sementara dia asuransi jadi
dia mengelola dua jarinya. Mengelola investasi dari sisi premi dan dari sisi
orang berinvestasi,” ujarnya.
Ia menuturkan model bisnis yang dijalankan oleh Jiwasraya tersebut mengikuti
skema ponzi yang akibatnya justru akan merugikan perusahaan itu sendiri.
“Produk saving plan itu menggunakan skema ponzi dan ketika jatuh tempo
diambil dari sini (investasi). Ketika berhenti (preminya) enggak bisa bayar
jadi itu berarti skemanya enggak betul,” katanya.
Senada dengan Aviliani, Wakil Direktur Eksekutif Indef Eko Listiyanto juga
menyatakan wacana DPR untuk membubarkan OJK sangat tidak tepat karena yang
harus dilakukan adalah pembenahan terhadap sistem pengawasannya.
“Itu sangat tidak relevan karena sebetulnya ini kan pembenahan pengawasan yang
harus dilakukan. Jadi kalau ada tikus di lumbung padi ya jangan padinya yang
dibakar tapi tikusnya saja yang dicari,” katanya.
Menurut Eko, jika OJK dibubarkan maka justru berpotensi semakin memperburuk
kualitas lembaga keuangan non perbankan sebab dahulu pembentukan OJK didasari
agar antara pengawasan dan pengatur kebijakan moneter dibedakan instansinya.
“Bank Indonesia dalam konteks kan mengatur kebijakan moneter semuanya jadi yang
mengawasi harus beda jadi menurut saya lebih kacau lagi kalau dibubarkan
(OJK),” ujarnya. (sr)