Jumat, 21 Februari 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Kementerian Perdagangan mendukung penyusunan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dukungan itu dilakukan melalui penyesuaian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal. Penyesuaian tersebut meliputi klaster Penyederhanaan Perizinan Berusaha dan klaster Pengenaan Sanksi dari total 11 klaster pada Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
“Pemangkasan perizinan berusaha dan penyederhanaan prosedur perizinan sudah saatnya dilakukan. Sudah saatnya pula pelaku usaha memproses perizinan sesuai indikasi risiko kegiatan usahanya. Regulasi berusaha berbasis risiko dapat memberikan perizinan berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan. Regulasi tersebut akan mengarah pada penentuan tingkat risiko dan jenis perizinan yang diperlukan,” jelas Menteri Perdagangan Agus Suparmanto.
Mendag juga menegaskan, “Penataan kembali kewenangan sektor perdagangan tersebut dapat memberikan penyederhanaan perizinan, prosedur dan kemudahan dalam proses perizinan, serta memberikan kepatian hukum dalam berusaha,” tambah Mendag Agus.
Sedangkan, lanjut Mendag, pengaturan kembali pengenaan sanksi dapat memberikan kenyamanan dalam berusaha dengan tetap memperhatikan aspek tanggung jawab pelaku usaha. Penyesuaian dalam UU Perdagangan mencakup bidang perdagangan dalam negeri dan luar negeri tersebut meliputi: Bidang Perdagangan Dalam Negeri, yaitu: a. Substansi Pengaturan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang (Pasal 11); b. Pengembangan, Penataan dan Pembinaan Pasar rakyat, Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Perkulakan (Pasal 14); c. Penataan dan Pembinaan Gudang (Pasal 15 dan 17); d. Penataan, Pembinaan, dan Pengembangan terhadap Pasar Lelang Komoditas (Pasal 18); e. Perizinan Berusaha (Pasal 24); f. Pemberlakuan SNI atau Persyaratan Teknis (Pasal 57); g. Menetapkan Lembaga yang akan Melakukan Pendaftaran LPK (Pasal 61). Bidang Perdagangan Luar Negeri, meliputi: a. Penetapan Sebagai Eksportir (Pasal 42); b. Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Eksportir (Pasal 43); c. Pengaturan mengenai Pengenal Sebagai Importir, Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Importir (Pasal 45); d. Penetapan Barang yang Diimpor dalam Keadaan Tidak Baru (Pasal 47); e. Perizinan Ekspor dan Impor (Pasal 49); f. Penetapan Kriteria Barang yang Dilarang Ekspor dan Impornya (Pasal 51); g. Penetapan Kriteria Barang yang Dibatasi Ekspor dan Impornya (Pasal 52); h. Pengenaan Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Pembatasan Ekspor Impor Barang yang Dibatasi (Pasal 52); i. Menentukan Lain terhadap Barang Impor yang Wajib Diekspor Kembali atau Dimusnahkan (Pasal 53); j. Melakukan Penataan dan Pembinaan Pelaku Usaha dalam rangka Pengembangan Ekspor (pasal 74); k. Menetapkan Standar Penyelenggaraan dan Keikutsertaan dalam Pameran Dagang (pasal 77); l. Menetapkan Tata Cara Penyelenggaraan, Kemudahan, dan Keikutsertaan dalam Promosi Dagang (pasal 81); m. Menentukan Data dan Informasi Perdagangan yang Bersifat Tertutup (pasal 91); n. Pengawasan Kegiatan Perdagangan (Pasal 99); o. Pengaturan Lebih Lanjut Pengawasan Kegiatan Perdagangan (Pasal 102). Sementara itu, penyesuaian UU Metrologi Legal meliputi: a. Pemerintah Pusat Memiliki Kewenangan Atas Pengaturan Metrologi Legal dan Hal Tersebut Akan Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 13); b. Pengaturan Mengenai Pengrusakan Alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya Akan Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 14); c. Perizinan Dalam Pasal 17 dan Pasal 18 UU Metrologi Legal Ditarik Menjadi Kewenangan Pemerintah Pusat. d. Pengaturan Mengenai Barang-Barang Dalam Keadaan Terbungkus Akan Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 24).
Sedangkan, dalam klaster Pengenaan Sanksi, dilakukan penataan kembali terkait substansi yang dikenai sanksi pidana dan substansi yang dikenai sanksi administratif. Adapun penataan kembali pengenaan sanksi meliputi: a. Gudang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha dikenai sanksi administratif; b. Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran barang dikenai sanksi administratif. c. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan penetapan Barang dan/atau Jasa dikenai sanksi administratif. d. Eksportir yang tidak bertanggung jawab terhadap Barang yang diekspor dikenai sanksi administratif. e. Importir yang tidak bertanggung jawab atas Barang yang diimpor dikenai sanksi administratif. f. Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian dikenai sanksi administratif. g. Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian dikenai sanksi administratif. h. Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian dikenai sanksi administratif. i. Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar dikenai sanksi administratif. j. Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Standar penyelenggaraan dan keikutsertaan dalam pameran dagang dikenai sanksi administratif. k. Penghapusan kewenangan PPNS untuk melakukan penyidikan. l. Pelaku Usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dikenai sanksi administratif. m. Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha sebelum melakukan pemenuhan perizinan berusaha sebagaimana dikenai sanksi administratif. n. Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup yang belum melakukan pendaftaran kepada Menteri dikenai sanksi administratif. o. Importir yang mengimpor Barang dalam keadaan tidak baru dikenai sanksi administratif. p. Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib dikenai sanksi administratif. q. Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi dikenai sanksi administratif. r. Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat dikenai sanksi administratif.
Selain itu, Mendag Agus menambahkan, RUU ini bertujuan untuk mengubah kewenangan mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk menunjang iklim investasi; serta mempermudah pengurusan perizinan sehingga lebih terpadu, efisien, dan efektif.
“Perubahan kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan hubungan koordinasi antarinstansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan terpadu. Selain itu, dengan perubahan ini, diharapkan dapat meningkatkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan,” pungkas Mendag Agus.
RUU Ciptaker terdiri dari sebelas klaster yaitu penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, kemudahan proyek pemerintah, serta kawasan ekonomi. (udy)