Jumat, 28 Februari 2020
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM- Keputusan sepihak dari pemerintah Amerika Serikat melalui
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) yang mengeluarkan Indonesia dari daftar
negara berkembang menjadi negara maju dapat
mempengaruhi kinerja neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia.
“Penilaian itu harus jadi early warning bagi pemerintah kita. Kalau
kita diam saja dan disetujui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), current
account kita akan terdampak karena berbagai keringanan akan hilang,”
ujar Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
Indef Aviliani dalam konferensi pers bertema “Salah Kaprah Status Negara
Maju” di Jakarta, Kamis (27/2).
Menurut dia, penilaian sepihak itu dapat membuat harga produk ekspor Indonesia
ke AS menjadi lebih tinggi dan berpotensi menurunkan pangsa pasar produk
Indonesia, karena terganti dari negara lain.
Saat ini, lanjut dia, AS menjadi salah satu negara tujuan ekspor produk-produk
unggulan seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, karet, furnitur,
elektronik, dan lainnya.
Ia mengemukakan pada 2019 ekspor Indonesia ke AS senilai US$ 17,7 miliar atau sekitar Rp248 triliun
(kurs Rp 14.045). Sementara total ekspor
Indonesia pada 2019 senilai US$ 167,5 miliar.
“Kalau kita diam saja atau tidak protes maka 12,84% (pasar ekspor AS
Januari 2020) berpotensi turun, orang Amerika akan cari supplier
baru,” katanya.
Dalam kesempatan sama, peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengemukakan Indonesia
telah dikeluarkan sebagai anggota negara berkembang dalam prinsip hukum
Countervailing Duty (CVD) pada 10 Februari 2020.
“Implikasi dari hukum countervailing duty yang sebelumnya
mendapatkan keringanan penyediaan subsidi hingga dua persen dan volume standar
impor yang diabaikan akan dihapuskan,” katanya.
Dampaknya, lanjut dia, produk lndonesia ke AS akan mengalami kenaikan bea impor
AS menjadi lebih tinggi.
“Hal ini menimbulkan implikasi bahwa ke depan produk ekspor Indonesia
menjadi lebih mahal di pasar AS (karena pengenaan tarif),” katanya.
Ia menambahkan jika lndonesia tidak segera memperbaiki posisi daya saing produk
ekspor di pasar AS, maka akan menyebabkan penurunan nilai ekspor ke
“Negeri Paman Sam” itu.
“Konsekuensinya produk Indonesia harus bersaing dalam aspek kualitas dan
harga produk serta aspek kesehatan dan keamanan lingkungan,” paparnya.
Berdasarkan hasil simulasi Global Trade Analysis Project (GTAP), ia
menyampaikan dengan diberikannya tarif impor (dengan asumsi meningkat lima
persen dari posisi tarif saat ini) untuk produk ekspor utama lndonesia ke AS,
maka secara makro akan menyebabkan penurunan ekspor ke AS sebesar 2,5%. (ki)