Jumat, 5 Juni 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Digitalisasi transaksi menjadi sebuah keharusan dan salah satu unsur yang penting dalam mendukung industri pariwisata dalam tata kehidupan normal baru, kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho
“Implementasi digitalisasi transaksi tidak hanya terbatas pada industri pariwisata seperti objek wisata, hotel dan restoran, tetapi juga industri pendukungnya, seperti transportasi, pusat perbelanjaan hingga rumah sakit,” kata Trisno Nugroho dalam seminar daring atau Webinar bertajuk “What Can Bali’s Tourism Do with Digital Payment in the New Normal Era?” itu, di Denpasar, Kamis (4/6).
Pelaksanaan seminar secara virtual tersebut diharapkan dapat memperoleh pandangan secara komprehensif untuk merumuskan sistem pembayaran digital yang seperti apa, yang mampu memberikan dukungan terhadap industri pariwisata dalam tata kehidupan yang baru.
Trisno mengemukakan, pada Triwulan I 2020, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali jumlah wisatawan yang masuk ke Pulau Dewata mengalami penurunan hingga 42,3% (yoy) dari 1.819.664 wisatawan pada triwulan I 2019 menjadi 1.050.024 wisatawan. Penurunan ini diprediksi semakin dalam pada triwulan II tahun 2020.
“Penurunan kinerja sektor pariwisata Bali di masa COVID-19 tersebut tidak dapat dibiarkan terus berlangsung lama. Sektor pariwisata harus mampu bangkit dengan cara beradaptasi terhadap tatanan hidup baru di tengan pandemi COVID-19,” ucapnya.
Untuk membangkitkan pariwisata di era “New Normal”, lanjut Trisno, pelaku industri pariwisata harus siap dengan infrastruktur yang mendukung faktor “clean, health dan safety” termasuk dalam aspek sistem pembayaran yang meminimalkan kontak fisik dalam bertransaksi.
“Untuk itu, Bank Indonesia terus berupaya mendorong transaksi non tunai terutama yang bersifat contactless untuk bertransaksi dibandingkan alat pembayaran menggunakan uang atau kartu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Trisno juga mengemukakan, selama pandemi COVID-19, realisasi penarikan tunai masyarakat di wilayah Provinsi Bali mengalami penurunan sebesar Rp 1,392 triliun atau hanya 46,7% dari jumlah yang diproyeksikan sebesar Rp 2,981 triliun
Namun sebaliknya, pada bulan Maret 2020 transaksi non tunai yang bersifat contactless (Mobile Banking, Internet Banking, E-Money Server Based & QRIS) meningkat hingga 2,2 juta transaksi (20,83% mtm) dibandingkan bulan Februari 2020.
Sementara dari sisi nominal meningkat dari Rp 17,84 triliun menjadi Rp 18,92 triliun atau meningkat sebesar 6,03% (mtm).
“Data ini menjadi bukti bahwa saat ini mulai terjadi pergeseran pola bertransaksi di masyarakat dari tunai menjadi secara nontunai,” ujar Trisno Nugroho.
Seminar nasional yang dilaksanakan melalui media platform Zoom serta live Youtube dengan total peserta mencapai 542 orang itu yang terdiri dari Kepala Dinas Pariwisata, Ketua Asosiasi Pariwisata dan perhotelan, akademisi, pimpinan perbankan serta pelaku usaha pariwisata dan perhotelan baik dari Bali maupun luar Bali.
Turut hadir sebagai pembicara Wakil Gubernur Provinsi Bali sekaligus Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang menyampaikan pandangan dan komitmen Pemprov Bali dalam mendukung pariwisata di era New Normal.
Kemudian ada juga Filianingsih Hendarta selaku Asisten Gubernur BI yang menyampaikan arah kebijakan dan strategi BI di bidang sisi sistem pembayaran yang mendukung industri pariwisata di era New Normal.
Selanjutnya juga I Ketut Alam Wangsawijaya (Executive Vice President of BCA) dan Vincent Iswara (CEO Dana) yang memberikan penjelasan tentang inovasi sistem pembayaran berbasis digital dari sisi perbankan dan nonbank.
Sementara itu, Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati mengatakan untuk membangun pariwisata Bali pasca-pandemi bukanlah hal yang mudah.
“Oleh karena itu, implementasi protokol kesehatan pada seluruh sektor, terutama industri pariwisata, menjadi fokus utama kita semua. Salah satu komponen dalam protokol kesehatan adalah metode transaksi non-tunai,” katanya.
Menurut dia, transaksi nontunai penting untuk dilakukan karena setidaknya dua alasan. Pertama, uang tunai dapat menjadi media penyebaran virus yang harus dihentikan. Kedua, transaksi non-tunai sebenarnya merupakan metode transaksi yang efektif dan aman.
“Ini merupakan momentum yang baik bagi kita untuk mulai menggalakkan gerakan masyarakat non-tunai,” ujarnya.
Meskipun demikian, diakuinya pemberlakuan transaksi non-tunai tentu memiliki tantangan tersendiri. Masyarakat Bali saat ini masih belum terlalu fasih menggunakan alat pembayaran digital.
“Mengubah pola perilaku masyarakat membutuhkan suatu pembiasaan yang dapat didorong dengan kemudahan dan manfaat bertransaksi digital. Hadirnya Bank Indonesia dengan QRIS atau Quick Response Indonesian Standard diharapkan mampu mengatasi persoalan ini dengan menyamakan sistem e-money di Indonesia,” ucap Wagub Bali yang akrab dipanggil Cok Ace itu. (ki)