Kamis, 18 Juni 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Pemerintah mengalokasikan pos belanja antisipatif yang bersifat otomatis untuk menghadapi ketidakpastian seperti pandemi COVID-19 dalam kebijakan belanja negara tahun 2021.
“Kalau sejak sekarang kami merumuskan dari sisi penganggaran automatic stabilizer kemudian didukung bansos, saya kira menjadi connect dari sisi penganggaran,” kata Kepala Pusat Kebijakan APBN BKF Ubaidi S Hamidi, Rabu (17/6).
Dengan adanya alokasi belanja antisipatif itu, lanjut dia, pemerintah akan lebih mudah terutama dalam hal waktu ketika merumuskan program stimulus kepada masyarakat terdampak.
Belanja antisipatif itu, kata dia, merupakan bagian dari reformasi anggaran tahun 2021 yang akan fokus terhadap program prioritas dan berorientasi kepada hasil.
Selain itu, reformasi anggaran juga meliputi efisiensi belanja barang non prioritas pusat dan daerah meliputi penghematan belanja barang seperti perjalanan dinas hingga paket rapat.
Kemudian belanja modal diarahkan untuk melanjutkan proyek yang tertunda tahun 2020 serta penguatan belanja modal dan pemeliharaan untuk barang milik negara.
Adanya reformasi anggaran itu, kata dia, karena ruang fiskal yang masih terbatas namun belanja wajib yang besar seperti 20% untuk pendidikan dan lima persen untuk kesehatan, harus dilakukan.
Tantangan dalam pelaksanaan APBN lainnya, kata dia, hasil yang masih kurang optimal, belanja operasional yang kurang efisien serta kebutuhan untuk program prioritas yang besar perlu ditinjau kembali.
Selama tiga tahun terakhir rasio pendapatan negara terhadap PDB terus menurun dan akibat pandemi COVID-19, pendapatan negara tahun 2020 diproyeksi menurun 10,5 % terhadap PDB.
Sedangkan, lanjut dia, belanja negara tahun 2020 naik mencapai 15,53% sesuai Perpres 54 tahun 2020.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ketika menyampaikan pidato dalam Sidang Paripurna di DPR RI pada 12 Mei 2020 menyebutkan belanja negara tahun 2021 diperkirakan berada dalam kisaran 13,11-15,17% terhadap PDB. (sr)