Senin, 27 Juli 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Kementerian Perdagangan berkomitmen mendorong peningkatan produktivitas garam dalam negeri, baik secara kualitas dan kuantitas. Peningkatan produktivitas ini juga merupakan langkah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor garam.
Garam merupakan salah satu komoditas yang dibutuhkan masyarakat di berbagai sektor, mulai dari
rumah tangga untuk konsumsi, hingga industri sebagai bahan baku, antara lain dalam produksi pipa PVC, sabun, kosmetik, tekstil, manufaktur, dan hasil industri lainnya. Komitmen tersebut
diungkapkan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto saat meninjau persiapan panen garam tamb ak garam PT Timor Livestock di Nunkurus, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat (24/7). Turut mendampingi Mendag yaitu Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.
Pada kunjungan tersebut, Mendag Agus sangat mengapresiasi produktivitas lahan garam yang relatif cukup baik dibandingkan dengan rata-rata produksi garam dalam negeri.
“Saat ini garam nasional masih menghadapi beragam tantangan, baik dari sisi keterbatasan
produksi maupun kualitas hasil akhir yang relatif rendah. Namun saya melihat di sini potensi
peningkatan produksi garam dengan kualitas di atas rata-rata. Jika kualitas ini dipertahankan, maka
produksi garam NTT dapat mendorong penurunan impor garam untuk kebutuhan industri, maupun untuk diekspor,” ujar Mendag Agus.
Produktivitas rata-rata lahan garam di Nunkurus adalah 100 ton/ha untuk setiap siklus panen (sekitar 40-45 hari), lebih tinggi dari produktivitas rata-rata lahan garam lainnya yang berkisar 60—70 ton/ha. Kualitas garam yang dihasilkan juga termasuk cukup baik dengan NaCl minimal 97 persen.
Kualitas garam dalam negeri rata-rata memiliki kandungan NaCl di bawah 95 persen sehingga
menyebabkan garam dalam negeri tidak dapat diserap industri pengguna garam.
Harga jual garam dari petambak di Nunkurus berkisar antara Rp600–1.000/kg, lebih tinggi dari rata-rata harga garam di tingkat petambak yang di bawah Rp500/kg. Hasil keuntungan produksi kemudian dinikmati pihak masyarakat pemilik lahan, gereja, dan pemerintah daerah dengan mekanisme bagi hasil. Masyarakat pemilik lahan juga mendapat 10 persen dari bagi hasil tersebut.
“Kemendag terus mendorong para petani garam agar memanfaatkan Sistem Resi Gudang (SRG),
termasuk para petani di Nunkurus, NTT, karena nantinya dibentuk SRG di sini. Melalui SRG,
diharapkan harga garam akan relatif stabil karena petambak bisa menyimpan garam di gudang dan
menjualnya pada saat yang tepat, serta memperoleh dukungan pendanaan berupa pinjaman,” ujar
Mendag.
Lebih lanjut Mendag Agus mengungkapkan, salah satu tantangan kondisi pergaraman dalam negeri yang paling krusial ialah tingkat produksi yang belum mencukupi kebutuhan nasional. Kebutuhan garam nasional pada 2020 diperkirakan sebesar 4,4 juta ton, terdiri atas kebutuhan industri sebesar 3,74 juta ton, rumah tangga 321 ribu ton, dan lainnya sebesar 398 ribu ton.
Sedangkan produksi garam tahun 2020 diperkirakan sebesar 2,5 juta ton sehingga belum mampu mencukupi kebutuhan garam di dalam negeri.
“Rendahnya produktivitas garam di dalam negeri disebabkan produksi garam yang rentan terganggu cuaca, lahan pergaraman yang tidak luas dan tidak terintegrasi, serta sistem pemanenan garam yang sederhana. Selain membuat jumlah produksi yang rendah, hal ini juga berdampak pada kualitas garam yang tidak seragam,” ujar Mendag Agus.
Dengan produksi yang rendah, Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan garam nasional,
terutama kebutuhan garam industri yang masih dipenuhi dari impor. Lahan garam di Indonesia juga bukan merupakan hamparan, melainkan petakan-petakan yang diusahakan secara tradisional.
Kemendag bersama unsur pemerintah lainnya, antara lain Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Perindustrian; juga akan
terus bergerak melakukan berbagai upaya penanganan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing
dalam mendorong produktivitas garam nasional. (udy)