Senin, 24 Agustus 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,75%.
“Keputusan ini konsisten dengan perlunya menjaga stabilitas eksternal, di tengah inflasi yang diprakirakan tetap rendah. Bank Indonesia menekankan pada jalur kuantitas melalui penyediaan likuiditas untuk mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi COVID-19, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada Pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN tahun 2020.,” kata Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Rabu (19/8).
Di samping keputusan tersebut, Bank Indonesia menempuh pula langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar.
Kedua, memperkuat strategi operasi moneter guna meningkatkan transmisi stance kebijakan moneter yang ditempuh.
Ketiga, menurunkan batasan minimum uang muka (down payment) dari kisaran 5%-10% menjadi 0% dalam pemberian kredit/pembiayaan kendaraan bermotor (KKB/PKB) untuk pembelian kendaraan bermotor berwawasan lingkungan, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, berlaku efektif 1 Oktober 2020.
Keempat, memperkuat sinergi bersama perbankan, fintech, Pemerintah, serta otoritas terkait dalam rangka percepatan digitalisasi antara lain melalui dukungan digitalisasi UMKM dan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), perluasan akseptasi QRIS berbasis komunitas, serta dorongan penggunaan QRIS dalam e-commerce.
“Bank Indonesia akan mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran COVID-19 dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu dalam mengambil langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan. Koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional,” jelas Onny.
Perekonomian global mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan setelah mengalami tekanan berat pada triwulan II 2020 sejalan dampak pandemi COVID-19. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2020 di banyak negara maju dan berkembang mengalami kontraksi tajam akibat pembatasan mobilitas dalam rangka memitigasi penyebaran COVID-19. Indikasi perbaikan ekonomi mulai terlihat di beberapa negara, khususnya di Tiongkok, didorong dampak penyebaran COVID-19 yang telah berkurang dan stimulus kebijakan fiskal yang besar.
Sementara di pasar keuangan global, kekhawatiran terhadap terjadinya gelombang kedua pandemi COVID-19, prospek pemulihan ekonomi global, dan kenaikan tensi geopolitik Amerika Serikat (AS)-Tiongkok menyebabkan masih tingginya ketidakpastian. Kondisi ini kemudian menahan aliran modal ke negara berkembang dan memberikan tekanan kepada nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia. Perekonomian global pada paruh kedua 2020 diprakirakan membaik, meskipun belum kembali ke level sebelum COVID-19 sejalan dengan penerapan protokol kesehatan di era kenormalan baru.
Sejumlah indikator ekonomi dini mengindikasikan arah pemulihan ekonomi global itu, seperti meningkatnya mobilitas masyarakat global, membaiknya keyakinan konsumen dan bisnis di banyak negara, serta naiknya PMI Manufaktur di AS, Eropa, dan Tiongkok. Kecepatan pemulihan ekonomi global ke depan dipengaruhi perkembangan COVID-19, mobilitas ekonomi merespons pandemi, besaran dan kecepatan stimulus kebijakan, terutama stimulus fiskal, kondisi sektor keuangan dan korporasi, serta struktur perekonomian suatu negara.
Perbaikan pertumbuhan ekonomi domestik juga mulai terindikasi pada Juli 2020 setelah mengalami kontraksi pada triwulan II 2020. Pertumbuhan ekonomi triwulan II 2020 terkontraksi sebesar 5,32% (yoy), dibandingkan dengan capaian triwulan I 2020 sebesar 2,97% (yoy). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah penyebaran pandemi COVID-19 menyebabkan terbatasnya mobilitas manusia dan barang, yang kemudian menurunkan permintaan domestik serta aktivitas produksi dan investasi.
Sementara itu, kontraksi ekspor tidak sebesar prakiraan, didorong permintaan khususnya dari Tiongkok atas beberapa komoditas ekspor seperti besi dan baja, bijih logam, serta pulp dan waste paper.
Pada semester II 2020, pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan membaik didorong kenaikan permintaan domestik sejalan relaksasi PSBB, peningkatan realisasi APBN sebagai stimulus kebijakan fiskal, berlanjutnya stimulus kebijakan moneter, kemajuan dalam restrukturisasi kredit dan dunia usaha, serta dampak positif meluasnya penggunaan media digital.
Perkembangan pada Juli 2020 memperkuat indikasi pemulihan permintaan domestik dimaksud, tercermin pada kenaikan indikator dini seperti mobilitas masyarakat, penjualan eceran dan online, keyakinan konsumen, serta ekspektasi kegiatan usaha. Perekonomian global yang membaik juga mendorong perbaikan prospek kinerja sektor eksternal dan pemulihan ekonomi nasional. Kinerja positif ekspor berlanjut pada Juli 2020, tercermin pada kenaikan ekspor sejumlah komoditas, seperti besi dan baja, serta bijih logam.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tetap baik sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia. NPI triwulan II 2020 mencatat surplus 9,2 miliar dolar AS, dipengaruhi penurunan defisit transaksi berjalan dari 1,4% pada triwulan I 2020 menjadi 1,2% dari PDB serta peningkatan surplus transaksi modal dan finansial. Penurunan defisit transaksi berjalan, terutama dipengaruhi penurunan impor sejalan melemahnya permintaan domestik.
Sementara itu, kenaikan surplus transaksi modal dan finansial didorong berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik sejalan dengan besarnya likuiditas global, tingginya daya tarik aset keuangan domestik, dan terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik. Perkembangan positif NPI berlanjut pada Juli 2020 dipengaruhi berlanjutnya surplus neraca perdagangan sebesar 3,26 miliar dolar AS. Investasi portofolio juga kembali mencatat net inflows sebesar 1,25 miliar dolar AS, meskipun kondisi ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi.
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2020 meningkat menjadi sebesar 135,1 miliar dolar AS, setara pembiayaan 9,0 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Untuk keseluruhan tahun 2020, defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah, di bawah 1,5% PDB, sehingga terus mendukung ketahanan sektor eksternal di tengah prospek ekonomi global yang belum kuat.
Nilai tukar Rupiah tetap terkendali dengan mekanisme pasar yang berjalan baik, meskipun mulai Juli 2020 melemah dipengaruhi ketidakpastian pasar keuangan global. Pada Juli 2020, Rupiah mencatat depresiasi 2,36% secara point to point atau 2,92% secara rerata dibandingkan dengan level Juni 2020, dipicu kekhawatiran terhadap terjadinya gelombang kedua pandemi COVID-19, prospek pemulihan ekonomi global, dan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global akibat kenaikan tensi geopolitik AS–Tiongkok. Kekhawatiran yang sama berlanjut sehingga Rupiah pada Agustus 2020 kembali mendapat tekanan yang per 18 Agustus 2020 mencatat depresiasi 1,65% secara point to point atau 1,04% secara rerata dibandingkan dengan level Juli 2020. Dibandingkan dengan level akhir 2019, Rupiah terdepresiasi 6,48% (ytd).
Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar Rupiah masih berpotensi menguat seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued didukung inflasi yang rendah dan terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun. Selain itu, prospek pemulihan ekonomi yang menguat pada semester II 2020 juga dapat mendukung prospek penguatan nilai tukar Rupiah. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, Bank Indonesia terus menjaga ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas dan memastikan bekerjanya mekanisme pasar.
Inflasi tetap rendah dipengaruhi permintaan domestik yang lemah. Pada Juli 2020, Indeks Harga Konsumen (IHK) tercatat deflasi 0,10% (mtm) sehingga inflasi IHK sampai Juli 2020 tercatat sebesar 0,98% (ytd). Secara tahunan, inflasi IHK tercatat rendah yakni 1,54% (yoy), menurun dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya sebesar 1,96% (yoy). Rendahnya inflasi dipengaruhi oleh lemahnya permintaan domestik akibat pandemi COVID-19, konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, dan stabilitas nilai tukar yang terjaga. Rendahnya inflasi tercatat pada inflasi inti dan komponen lainnya. Inflasi kelompok volatile food secara tahunan menurun didukung pasokan yang memadai dari panen raya, distribusi di berbagai daerah yang terjaga, dan harga komoditas pangan global yang rendah. Sementara, inflasi kelompok administered prices tetap rendah akibat permintaan yang tidak kuat, meskipun sedikit meningkat, terutama didorong kenaikan tarif angkutan antarkota dan kendaraan roda empat daring, serta harga jual aneka rokok. Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dalam sasarannya sebesar 3,0% ± 1% pada 2020 dan 2021.
Kondisi likuiditas lebih dari cukup dan transmisi penurunan suku bunga berlanjut ditopang strategi operasi moneter Bank Indonesia. Hingga 14 Agustus 2020, Bank Indonesia telah menambah likuiditas (quantitative easing) di perbankan sekitar Rp651,54 triliun, dari penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sekitar Rp155 triliun dan ekspansi moneter sekitar Rp480,7 triliun. Longgarnya kondisi likuiditas mendorong tingginya rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yakni 26,24% pada Juni 2020 dan rendahnya suku bunga PUAB, sekitar 3,64% pada Juli 2020. Longgarnya likuiditas serta penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) berkontribusi menurunkan suku bunga perbankan dan imbal hasil SBN. Rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juli 2020 menurun dari 5,74% dan 9,48% pada Juni 2020 menjadi 5,63% dan 9,47%. Sementara itu, imbal hasil SBN 10 tahun turun 38 bps pada Juli 2020 dari level Juni 2020 sehingga tercatat 6,83%. Di tengah suku bunga yang menurun, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Juni 2020 melambat menjadi 8,2% (yoy) dan 8,2% (yoy) dipengaruhi ekonomi yang belum kuat. Ke depan, ekspansi moneter Bank Indonesia yang sementara ini masih tertahan di perbankan diharapkan dapat lebih efektif mendorong pemulihan ekonomi nasional sejalan percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan.
“Bank Indonesia terus memperkuat sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal Pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional. Bank Indonesia melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020 melalui pembelian SBN dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan UU No.2 Tahun 2020, baik berdasarkan mekanisme pasar maupun secara langsung, sebagai bagian upaya mendukung percepatan implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi,” demikian Onny Widjanarko. (dya)