Jumat, 9 April 2021
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo resmi melarang aparatur sipil negara (ASN) untuk bepergian keluar daerah atau mudik menjelang dan usai Lebaran 2021. Namun, kebijakan menuai kritik dan tanda tanya.
Kebijakan tersebut tercantum dalam Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 8/2021 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian Keluar Daerah dan/atau Mudik dan/atau Cuti bagi Pegawai ASN dalam Masa Pandemi COVID-19.
“Pegawai ASN dan keluarganya dilarang melakukan kegiatan bepergian keluar daerah dan/atau mudik pada periode 6 sampai 17 Mei 2021,” demikian bunyi surat edaran yang ditandatangani Menteri PANRB di Jakarta, pekan ini.
Para ASN diharapkan tidak mengajukan cuti selama periode pembatasan perjalanan atau larangan mudik tersebut. Pejabat pembina kepegawaian (PPK) di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah juga tidak diperkenankan memberikan izin cuti.
Namun, cuti ini dikecualikan bagi PNS yang melakukan cuti melahirkan, cuti sakit, dan cuti alasan penting. Cuti turut diberikan untuk pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang mengambil cuti melahirkan dan cuti sakit.
Pengecualian larangan bepergian juga berlaku bagi ASN dengan alasan khusus dan telah memiliki surat tugas atau izin. ASN yang sedang melaksanakan perjalanan tugas kedinasan harus memiliki surat tugas yang ditandatangani setidaknya oleh pejabat pimpinan tinggi pratama atau kepala satuan kerja.
ASN yang dalam keadaan terpaksa perlu bepergian keluar daerah harus memperoleh izin tertulis dari PPK di instansinya masing-masing.
“Pemberian cuti dilakukan secara akuntabel dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Manajemen PNS sebagaimana diubah dengan PP No. 17/2020 serta PP No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK,” tulis surat edaran Menteri PANRB Tjahjo Kumolo tersebut.
Terdapat empat hal yang perlu diperhatikan oleh para ASN yang telah memperoleh izin untuk bepergian. Pertama, peta zonasi risiko penyebaran COVID-19 yang ditetapkan Satuan Tugas Penanganan COVID-19.
Kedua, peraturan dan/atau kebijakan pemerintah daerah asal dan daerah tujuan perjalanan mengenai pembatasan keluar dan masuk orang.
Ketiga, kriteria, persyaratan, dan protokol perjalanan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19.
Keempat, protokol kesehatan yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Penegakan disiplin terhadap ASN dilakukan oleh PPK di instansi masing-masing. ASN yang terbukti melanggar akan dikenai sanksi disiplin sesuai dengan PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP No. 49/2018 tentang Manajemen PPPK.
PPK berkewajiban melaporkan hasil pelaksanaan dari SE No. 8/2021 ini kepada Menteri PANRB melalui tautan https://s.id/LaranganBepergianASN.
“Paling lambat pada tanggal 24 Mei 2021 dengan format pelaporan sebagaimana tercantum dalam lampiran,” bunyi surat tersebut.
Penyebaran COVID-19 berpotensi meningkat karena perjalanan orang pada masa pandemi COVID-19 sehingga diperlukan adanya SE pembatasan perjalanan.
SE tersebut merupakan tindak lanjut atas Surat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor S-21/MENKO/PMK/III/2021. Sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19, para ASN diwajibkan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), 5M, dan 3T.
Penerapan 5M adalah menggunakan masker dengan benar, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas. Adapun 3T adalah testing, tracing, dan treatment.
Kritik
Kebijakan para menteri yang melarang mudik namun mengizinkan tempat wisata dibuka, menuai kritik. Misalnya kritik datang dari Gubernur Banten Wahidin Halim. Menurut dia, pemerintah pusat membuat pusing pemerintah daerah dalam penerapan protokol kesehatan COVID-19.
“COVID-19 dan ekonomi seperti dua mata sisi uang, harusnya pilihannya satu, dilarang ya dilarang. Kalau satu dilarang satu dibolehkan, ini kesulitan bagi pemerintah daerah dalam implementasinya,” kata Wahidin Halim, pekan ini.
Pria yang akrab disapa WH itu menjelaskan bahwa masyarakat sudah gerah berada di rumah selama satu tahun terakhir. Kemudian, lokasi wisata harus menerapkan prokes COVID-19 sebagai salah satu syarat dibukanya tempat liburan.
Namun saat berada di lokasi wisata, seperti pantai, akan sulit meminta masyarakat menjaga jarak dan tidak berkerumun. “Bagaimana mengatur prokesnya. Prokesnya sudah ada bakunya tapi bagaimana mengaturnya. Ini yang menjadi pikiran kita,” kata WH.
WH mengaku tidak mungkin satgas covid daerah memantau seluruh destinasi wisata yang ada di Banten, kemudian selalu meminta wisatawan untuk menjaga jarak. Karena, lanjut dia, wisatawan bukan hanya datang dari kota, namun penduduk lokal Banten juga dipastikan akan berlibur ke destinasi wisata terdekat.
“Apa kita satu-satu upaya di masyarakat dengan prokes. Nah, di pantai bagaimana dengan prokesnya, kalau mandi bagaimana dengan prokesnya. Ini kan menimbulkan persoalan bagi kita di daerah dalam menata prokesnya,” kata WH menegaskan.
Bisnis Transportasi Terpuruk
Sementara itu, kritik juga muncul dari Organisasi Angkutan Darat (Organda) Jawa Barat. Menurut Organda Jabar, larangan itu memperburuk kondisi bisnis transportasi di Indonesia.
Ketua DPD Organda Jabar Dida Suprinda mengatakan, selama pandemi, pengusaha angkutan umum sangat terpuruk. Mereka mengalami penurunan pendapatan hingga 70 persen. “Bahkan, beberapa trayek sampai terhenti karena enggak ada penumpang. Kami ini seperti mati segan hidup tak mau,” kata Dida seperti dikutip Kompas.com, hari ini.
Untuk itu, ia tak akan menyerah dengan kebijakan tersebut. Ia akan mengirim surat ke Gubernur Jabar Ridwan Kamil agar angkutan antarkota dalam provinsi (AKDP) mendapatkan kelonggaran saat mudik nanti. “Minimal ada kelonggaran pulang kampung,” kata Dida menegaskan.
Begitu pun dengan antarkota antarprovinsi (AKAP), pihaknya akan mengirim surat ke pusat. “Kami ingin (kebijakan) larangan mudik ini ditinjau ulang,” kata Dida lagi. (au)