Kamis, 8 Juli 2021
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Pemerintah perlu betul-betul memanfaatkan momentum kenaikan harga batu bara dunia pada 2021 dalam rangka meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba.
“Seiring dengan mulai membaiknya perekonomian beberapa negara konsumen batubara terbesar dunia, seperti China dan Amerika Serikat, harga batu bara pada tahun 2021 melonjak drastis karena tingginya permintaan dari negara-negara tersebut,” kata Anggota Komisi VII DPR RI Rofik, Kamis (8/7).
Harga acuan batubara (HBA) per Juli 2021 mencapai US$ 115,35 per ton, jauh lebih tinggi daripada harga rata-rata di tahun 2020 sebesar US$ 58,17 per ton atau yang terendah sejak tahun 2015.
Ia mengingatkan bahwa pandemi COVID-19 yang terjadi sejak awal tahun 2020 sampai saat ini telah memukul kinerja dunia usaha di Indonesia, salah satunya di bidang pertambangan mineral dan batubara (minerba).
“Sebagai contoh produksi batubara yang mengalami penurunan 9,5% dari 616,16 juta ton pada tahun 2019 menjadi 557,54 juta ton di tahun 2020,” ungkap Rofik dan menambahkan, hal ini berdampak kepada PNBP sektor minerba, yang menurun signifikan sebesar 24,1% dari Rp 45,59 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp34,6 triliun di tahun 2020.
Akan tetapi, ujar dia, adanya kenaikan harga inisecara otomatis akan meningkatkan PNBP Minerba khususnya dari penjualan batubara secara keseluruhan pada tahun 2021 ini.
Bahkan, lanjutnya, diperkirakan harga ini akan bertahan dalam beberapa tahun ke depan seiring dengan upaya pemulihan ekonomi oleh negara-negara konsumen batubara lainnya.
“Kinerja produksi dari semua tambang harus dioptimalkan, namun tetap dalam kaidah-kaidah pertambangan yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jangan sampai ketika produksi batubara dan mineral lainnya digenjot, justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah di wilayah sekitar tambang,” kata Rofik.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan harga batu bara acuan untuk Juli 2021 naik sebesar US$ 15,02 per ton menjadi US$ 115,35 per ton dibandingkan harga bulan sebelumnya yang berada pada level US$ 100,33 per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengungkapkan harga batu bara acuan itu sentuh level tertinggi dalam 10 tahun terakhir sejak November 2011, karena dipicu peningkatan konsumsi di negara-negara Asia Timur.
“Kapasitas pasokan batu bara domestik China terus menipis seiring kembalinya geliat aktivitas pembangkit listrik. Kenaikan itu menjadi yang paling tinggi dalam satu dekade,” kata Agung.
Agung mengungkapkan China cukup kewalahan memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri akibat terjadinya kendala operasional, seperti kecelakaan tambang dan perubahan cuaca berupa hujan ekstrem. Selain China, Jepang dan Korea Selatan juga menunjukkan grafis kenaikan serupa yang berimbas pada kenaikan harga batu bara global.
Nilai harga batu bara acuan diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal/kg GAR, total kelembaban 8%, total belerang 0,8%, dan abu 15%. (sr)