Selasa, 12 April 2022
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Meski kecil, hasil pertanian tetap dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), yaitu sebesar 10% dari tarif PPN atau 1,1%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Neilmaldrin Noor menyebutkan bahwa PPN atas barang hasil pertanian tertentu (BHPT) bukan merupakan pajak baru.
“Pengenaan PPN atas barang hasil pertanian tertentu ini juga bukan pajak baru, sudah dikenakan PPN sejak tahun 2013 dengan tarif 10%,” katanya di Jakarta, Senin (11/4).
Tata cara pemungutan PPN untuk objek pajak ini terus disederhanakan, termasuk melalui PMK-64/PMK.03/2022 tentang PPN atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu yang mulai berlaku 1 April 2022.
Dalam aturan tersebut, PPN BHPT dipungut dengan besaran tertentu yakni 1,1% final dari harga jual, yang bertujuan memberikan rasa keadilan dan menyederhanakan administrasi perpajakan.
“Selain latar belakangnya adalah karena telah terbitnya UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan), beleid ini berkomitmen tetap memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, serta menyederhanakan administrasi perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban bagi pengusaha yang menyerahkan barang hasil pertanian tertentu,” terangnya.
Dalam PMK Nomor 64 Tahun 2022, pemerintah mengatur BHPT yang merupakan objek pajak terdiri dari cangkang dan tempurung kelapa sawit, biji kakao kering, biji kopi sangrai, kacang mete, sekam dan dedak padi, serta klobot jagung yang semuanya telah melewati proses seperti dipotong, direbus, diperam, difermentasi ataupun proses lanjutan lainnya.
Selanjutnya, PPN terutang dipungut menggunakan besaran tertentu sebesar 1,1% final dari harga jual dan pengusaha kena pajak (PKP) wajib menerbitkan faktur pajak saat penyerahan BHPT.
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR Johan Rosihan mengusulkan agar sektor pertanian hendaknya tidak dibebankan dengan PPN karena akan berdampak ketidakadilan terhadap kepada petani di berbagai daerah.
“Kelebihan beban yang ditimbulkan oleh pajak menyebabkan kesejahteraan petani semakin turun. Hal itu secara langsung berakibat nilai tukar petani (NTP) semakin turun karena indeks harga yang diterima petani menjadi semakin rendah,” kata Johan Rosihan, Senin (11/4).
Menurut dia, dampak PPN bagi petani sebagai produsen akan mengakibatkan harga di tingkat produsen menjadi tertekan, sedangkan daya beli komoditas pertanian memiliki nilai yang rendah.
Ia mengingatkan sebagian besar petani adalah petani gurem atau kecil dengan lahan yang masih relatif kecil yakni rata-rata hanya sekitar 0,5 hektare.
“Coba bayangkan bagaimana nasib petani kita, pada saat harga komoditas anjlok, mereka malah kena pajak lagi,” imbuhnya.
Pengenaan PPN Pertanian juga berdampak mengurangi keinginan masyarakat untuk bertani dan menyebabkan daya saing yang semakin lemah serta beralihnya tenaga kerja pertanian kepada sektor lain.
“Saya minta agar pemerintah segera menghapus sama sekali seluruh produk pertanian dari pengenaan PPN, sebagai bentuk pembelaan pada sektor pertanian, hal ini demi cita-cita untuk meningkatkan kesejahteraan petani kita,” tegas Johan. (sr)