Jumat, 28 Oktober 2022 17:53 WIB
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Indonesia diyakini tidak akan masuk ke dalam jurang resesi pada 2023 karena memiliki fondasi ekonomi yang kuat.
“Saya berani mengatakan ketika orang berkata akan terjadi resesi global, Indonesia mungkin ada pelambatan, tapi saya cukup besar punya keyakinan bahwa Indonesia tidak sampai masuk ke dalam resesi,” kata Peneliti Senior dan Ekonom Bursa Efek Indonesia Poltak Hotradero
dalam diskusi The Indonesian Institute di Jakarta dengan optimis, Kamis (27/1).
Dia mengatakan kekuatan fondasi ekonomi ini salah satunya terletak dari sisi konsumsi rumah tangga yang mampu meliputi 51% dari total ekonomi Indonesia.
Sepanjang sejarah konsumsi rumah tangga di Indonesia rata-rata mampu tumbuh 4%-5% secara konsisten.
Menurut dia, jika setengah dari ekonomi saja tumbuh 4%-5%, maka sebenarnya pertumbuhan ekonomi sebesar dua persen itu sudah pasti mampu diraih Indonesia.
Belum lagi, didukung oleh komponen lain seperti belanja pemerintah yang tidak mungkin negatif serta komponen investasi yang juga pasti positif.
“Investasi pasti positif meski foreign direct investment (FDI) negatif, tapi domestic direct investment-nya positif,” ujar Poltak.
Sementara itu, Indonesia juga masih mempunyai komponen pendukung pertumbuhan lainnya yaitu ekspor dan impor yang jika Indonesia mengalami pelambatan, maka impor turun, namun ekspor tetap bisa mendukung.
“Kalaupun Indonesia mengalami pelambatan ekonomi, maka sebenarnya posisi perdagangan ekspor dikurangi impor itu masih kecenderungannya positif,” tegasnya.
Poltak menuturkan hanya ada dua faktor yang bisa membuat Indonesia resesi, yakni pertama adalah krisis 1998 ketika terjadi inflasi tinggi akibat fenomena El Nino, sehingga terdapat kekeringan cukup panjang yang menyebabkan harga beras naik tiga kali lipat.
Pada saat yang sama, Indonesia pada 1998 turut mempunyai masalah yaitu kualitas perbankan yang sangat buruk, sehingga membuat inflasi tidak terhingga dan daya beli masyarakat hancur.
Di sisi lain, seiring waktu kini perbankan di Indonesia lebih disiplin, lebih transparan dan memiliki kecukupan modalnya mulai kuat yaitu mencapai 24% yang jauh lebih kuat dibandingkan pada 1998 hanya 4%.
Faktor kedua yang membuat Indonesia resesi adalah pandemi COVID-19 karena berdampak langsung terhadap konsumsi privat mengingat berkaitan dengan perdagangan UMKM yang pada saat itu harus terhenti.
Poltak mengatakan jika tidak muncul wabah atau pandemi baru dan dari sisi sektor keuangan terutama perbankan memiliki kekuatan, maka Indonesia tidak akan masuk ke resesi ekonomi.
“Rasanya kecil pada 2023 mendatang akan ada pandemi dalam bentuk baru. Dari sisi sektor keuangan terutama perbankan yang kuat dan konsumsi rumah tangga rasanya dua persen (pertumbuhan ekonomi) saja sudah di tangan, jadi Indonesia tidak akan masuk ke resesi,” jelasnya.
Sementara itu, Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati menyatakan, mempertahankan dan menjaga momentum pemulihan sekaligus pertumbuhan ekonomi menjadi langkah penting agar Indonesia tidak mengalami resesi.
“Yang penting bagaimana mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Mudah-mudahan hanya slowing down, turun sedikit tetapi tidak sampai resesi,” kata dalam diskusi The Indonesian Institute ini.
Nina menjelaskan, jika global mengalami resesi maka tekanan terhadap Indonesia akan masuk dalam beberapa jalur yaitu dari mitra dagang, harga komoditas global, pertumbuhan ekonomi, inflasi, tenaga kerja dan sosial ekonomi.
Sejauh ini ekonomi dari beberapa mitra dagang utama Indonesia masih mengalami pertumbuhan pada kuartal II-2022 seperti Tiongkok 0,4%, Amerika Serikat 1,6%, Korea Selatan 2,9%, Singapura 4,8%, Vietnam 7,7%, Taiwan 3,1% dan Uni Eropa 4%.
Nina menuturkan salah satu momentum positif yang harus tetap dipertahankan Indonesia adalah neraca perdagangan yang surplus selama 29 kuartal seperti pada kuartal II-2022 surplus US$ 15,55 miliar. (ki)