Selasa, 24 Agustus 2021
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur nilai ekonomi karbon termasuk pengenaan pajak karbon dan pengembangan bursa perdagangan karbon—sebagai upaya mengatasi dampak perubahan iklim– kini tengah digodok.
“Ini dilakukan untuk mendorong investasi hijau, mengatasi celah pembiayaan perubahan iklim, dan juga mendorong pertumbuhan berkelanjutan,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makro Ekonomi Kementerian Keuangan, Masyita Crystallin, Senin (23/8).
Indonesia merupakan negara yang sangat rentan akan risiko perubahan iklim. Terbukti, perubahan iklim telah meningkatkan risiko bencana hingga 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia.
Masyita mengungkapkan, potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim diperkirakan dapat mencapai 0,66 sampai 3,45% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) pada 2030.
Dalam acara webinar Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2021 tersebut, Masyita menyatakan pemerintah Indonesia sejak lama telah berkomitmen untuk melakukan pengendalian perubahan iklim.
“Indonesia pun berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebanyak 29 persen pada tahun 2030. Sayangnya mencapai komitmen itu bukanlah hal yang mudah. Masih terjadi gap atau celah pembiayaan yang dibutuhkan untuk mencapai komitmen itu. Masih terdapat kekurangan 40% dari biaya yang dibutuhkan sepanjang 2020-2030, atau sekitar US$ 148 miliar,” paparnya.
Pembicara lainnya, CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange Lamon Rutten menyambut baik upaya pemerintah untuk memperkenalkan perdagangan karbon.
Rutten menyatakan bahwa perdagangan karbon di bursa karbon telah diberlakukan selama hampir dua dekade di Eropa, dan terbukti telah memberikan banyak keuntungan. Bahkan, secara global perdagangan karbon diestimasikan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50%.
Selain itu, ujar dia, perdagangan karbon juga dapat menciptakan kesempatan baru sehingga sebenarnya Indonesia dapat mengambil keuntungan dari perdagangan karbon ini dengan mengekspor kredit karbonnya.
Menurut Rutten, Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti hutan mangrove yang sangat luas, yang dapat menangkap sangat banyak karbon. Dan, itu bisa dilakukan dengan biaya yang rendah. Biayanya hanya kurang dari US$ 11 per ton karbon.
”Anda harus tahu, di Uni Eropa harganya karbon saat ini mencapai US$ 64 per ton,” kata Rutten.
Chief Strategy Officer, Star Energy Geothermal Agus Sandy Widyanto, menjelaskan bahwa setiap tahun pihaknya dapat menghasilkan 1,4 juta ton karbon dalam bentuk karbon kredit, dan juga menghasilkan sertifikasi energi terbarukan dengan jumlahnya sekitar 3 juta Megawatt hour per tahun.(ki)