Senin, 18 November 2019
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Kementerian Perdagangan melalui Direktorat Pengamanan Perdagangan (DPP) Kementerian Perdagangan menyikapi dengan cepat kebijakan modernisasi instrumen pengamanan perdagangan (modernisasi trade remedies) negara lain yang menghambat ekspor besi dan baja Indonesia. Salah satunya dengan menggelar bimbingan teknis (bimtek) bertemakan “Modernisasi Trade Remedies: Tantangan Bagi Industri Besi dan Baja”, Selasa (12/11) di Gading Serpong, Tangerang Selatan. Bimtek ini merupakan kerja sama DPP Kemendag dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten.
Kegiatan ini dihadiri lebih dari 40 pelaku usaha industri besi dan baja serta instansi Pemerintah Daerah Provinsi Banten. Bimtek yang dibuka Staf Ahli Gubernur Banten Bidang Sumber Daya Manusia Andi Fatmawati menampilkan beberapa pemateri andal yaitu perwakilan dari DPP, Direktur Komersial PT Krakatau Steel Purwono Widodo, serta praktisi hukum perdagangan internasional Erry Bundjamin.
“Bimtek bertujuan memberikan pemahaman dan informasi terkini kepada eksportir produk besi dan baja mengenai isu dan kebijakan luar negeri yang berkaitan dengan industri besi dan baja secara global. Dengan pemahaman konsep ini, industri baja nasional dapat mengambil tindakan pencegahan di internal perusahaan dan lebih siap dengan potensi implementasi konsep intervensi mendistorsi pasar (significant market distortion) di dalam modernisasi peraturan trade remedies Uni Eropa,” tegas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana.
Menurut Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati, tema ini sengaja dipilih sebagai langkah strategis bagi Indonesia terkait adanya permasalahan kapasitas berlebih dari produk besi dan baja dunia. Fenomena yang terjadi di pasar global saat ini adalah banyak negara yang melakukan proteksi terhadap pasar domestiknya dari membanjirnya produk baja impor melalui berbagai instrumen. Stagnasi penyelesaian masalah tersebut telah mendorong beberapa negara untuk melakukan tindakan ekstrim dalam menghambat arus impor produk baja ke negaranya. Misalnya, kebijakan tarif global Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal 2018 dengan mengeluarkan tarif tambahan 25 persen terhadap produk baja dan aluminium atas dasar keamanan nasional (Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962). Kebijakan ini disusul upaya pengamanan perdagangan (safeguard) secara sporadis oleh negara Uni Eropa, Kanada, dan Turki.
Selain itu, kebijakan antidumping dan antisubsidi dari beberapa negara lainnya terhadap produk besi dan baja Indonesia khususnya produk baja nirkarat (stainless steel).
“Sektor besi dan baja kerap menjadi sasaran penggunaan instrumen trade remedies negara mitra dagang Indonesia. Sektor ini dianggap tepat untuk menjadi target pelaksanaan bimbingan teknis,” disampaikan Pradnyawati.
Pada 2019, lanjut Pradnyawati, Indonesia dihadapkan dengan inisiasi penyelidikan antidumping produk wind tower oleh Amerika Serikat serta antidumping dan antisubsidi produk baja nirkarat oleh Uni Eropa dan India.
Selain itu, terdapat beberapa tindakan pengamanan perdagangan yang diberlakukan oleh Uni Eropa, Maroko, Mesir, Rusia, Kanada, dan negara teluk menambah daftar panjang hambatan ekspor yang dihadapi industri baja nasional.
Pradnyawati menambahkan, modernisasi legislasi trade remedies Uni Eropa mengubah tata cara penyelidikan antidumping Uni Eropa dengan memasukkan konsep intervensi mendistorsi pasar. Dari perspektif negara tertuduh, konsep ini dapat dianggap sebuah bentuk kolonialisasi karena menunjukkan sikap agresif dari sebuah negara maju. Prosedur penyelidikan trade remedies khususnya antidumping melebar ke ranah kebijakan pemerintah.
“Pada prinsipnya, antidumping menyelidiki perilaku harga yang diterapkan oleh suatu perusahaan, namun kini bercampur dengan konsep intervensi mendistorsi pasar. Indonesia merupakan negara pertama yang dituduh dengan menggunakan konsep tersebut,” jelas Pradnyawati.
Di sisi lain, muncul pemikiran dari kalangan industri baja nasional untuk mengubah sistem penerapan trade remedies Indonesia khususnya di area antidumping. Instrumen ini disediakan untuk mengatasi praktek perdagangan tidak adil. Maka, implementasinya harus dilaksanakan secara cepat dalam sistem pengambilan keputusan yang lebih sederhana.
“Melalui bimtek ini, tercetus pemikiran perlu adanya sebuah komite nasional yang khusus menangani tuduhan trade remedies dan gugatan internasional terhadap kebijakan nasional,” tutur Pradnyawati.
Dukungan dari pemangku kepentingan terutama dari kalangan pelaku usaha dan pejabat dinas di daerah terhadap upaya pemerintah dalam mengamankan akses pasar ekspor Indonesia di negara mitra dagang menjadi sangat penting.
“Pemerintah berharap komunikasi dan keterlibatan secara rutin dari pelaku usaha dan instansi daerah dalam menghadapi hambatan ekspor dapat menjadi senjata yang ampuh dalam menangani hambatan ekspor Indonesia khususnya yang terkait dengan tuduhan trade remedies,” pungkas Pradnyawati. (dya)