Jumat, 22 November 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Bank Indonesia memberi sinyal masih ada ruang pelonggaran
kebijakan moneter termasuk melalui instrumen suku bunga acuan dalam beberapa
waktu ke depan, dengan mencermati dinamika perekonomian global dan penyesuaian
ekonomi domestik.
Gubernur BI Perry Warjiyo menekankan, arah kebijakan Bank Sentral saat ini
tetap akomodatif. “Sikap akomodatif itu setelah Bank Sentral memilih untuk
menahan suku bunga acuan “7-Day Reverse Repo Rate” sebesar 5% pada November 2019,” kata Ferry..
Untuk “mengkompensasi” penahanan suku bunga acuan itu, Bank
Sentral menginjeksi stimulus terhadap perekonomian dengan penurunan Giro Wajib
Minimum Rupiah sebanyak 0,5% menjadi 5,5% di bank umum dan 4,5% di bank
syariah.
Relaksasi GWM sebesar 50 basis poin itu, diklaim Perry, akan mengguyur industri
perbankan dengan likuiditas sebanyak Rp 26 triliun, yang berlaku mulai 2
Januari 2020.
Ke depan, Perry masih membuka ruang relaksasi kebijakan baik melalui instrumen
moneter maupun instrumen makroprudensial.
“Ke depan, BI akan mencermati ekonomi global dan domestik dalam
memanfaatkan ruang bauran kebijakan akomodatif untuk menjaga jaga inflasi dan
stabilitas eksternal serta mendukung momentum pertumbuhan ekonomi. Bentuknya
bisa kebijakan moneter, makroprudensial, maupun yang lain-lain,” ujar
Perry.
GWM adalah rasio dari total dana pihak ketiga perbankan yang harus dipelihara
oleh perbankan pada saldo rekening BI. Dengan diturunkannya rasio GWM, maka dana
yang disimpan perbankan di BI akan lebih kecil, dan sebaliknya dana yang dapat
disalurkan perbankan sebagai kredit ke debitur lebih besar. Dengan penurunan
GWM ini, BI berharap kredit dapat tumbuh lebih baik dan dapat mendorong
perekonomian.
“Sehingga sampai kuartal I/2020 tentu saja tidak perlu khawatir dana itu
ditambah dan siap menyalurkan kredit,” kata Perry.
Kebijakan akomodatif lanjutan juga dimungkinkan karema fundamental ekonomi
domestik terjaga. Hal ini tercermin dari inflasi pada Oktober 2019 yang rendah
atau sebesar 3,13% (year on year/yoy). Laju inflasi itu menurun dibandingkan
dengan inflasi September 2019 sebesar 3,39% (yoy).
Hingga akhir 2019, inflasi diperkirakan BI berada di sekitar 3,1%.
Inflasi yang rendah, kata Perry, tidak menandakan melemahnya daya beli
masyarakat. Sebaliknya, dia berasumsi bahwa inflasi yang relatif terjaga maka
akan membuat daya beli masyarakat menguat.
Maka itu, dia optimistis pada kuartal IV 2019 permintaan akan tumbuh besar dan
mendorong pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2019 mencapai 5,1%.
Di sisi eksternal, Perry menjamin pihaknya juga akan mencermati kondisi Neraca
Pembayaran sebelum mengeluarkan kebijakan akomodatif. Sejauh ini, arus modal
asing masih deras. Hal itu pun turut menopang stabilitas nilai tukar rupiah
yang sejak awal tahun sampai dengan 20 November 2019 terapresiasi 2,03% (ytd).
“Ke depan, masih ada ruang bauran untuk moneter dan makroprudensial. Kami
akan mencermati ke depannya,” ujar Perry.
Sepanjang tahun ini, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 100 basis poin dari
Juli 2019 hingga Oktober 2019. Namun penurunan suku bunga acuan itu belum ampuh
untuk mendorong permintaan. Hal itu terbukti setelah lemahnya permintaan kredit
yang membuat pertumbuhan kredit melambat di September 2019 menjadi 7,89% dari
Agustus 2019 yang sebesar 8,5%. (sr)