Senin, 9 Desember 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai
investasi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) masih perlu pembenahan untuk
menarik minat investor untuk ikut berpartisipasi di dalam negeri.
“Pengembangan EBT perlu kolaborasi dari berbagai pihak. Dan untuk mengajak
swasta ikut berinvestasi sudah tentu perlu daya tarik sendiri,” ujar Ketua
Umum METI Surya Darma dalam diskusi mengenai EBT di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan kolaborasi dengan pihak swasta cukup penting mengingat APBN bukan
satu-satunya instrumen untuk meningkatkan porsi EBT yang ditargetkan mencapai
23% dalam bauran energi nasional pada 2025.
“Yang menjadi kendala kita adalah keuangan yang terbatas, pendapatan dalam
APBN ditetapkan sebesar Rp 2.233,2 triliun, sementara kita butuh US$ 98 miliar atau sekitar Rp 1.375 triliun untuk EBT sampai
2025. Tidak mungkin kita biayai sendiri, jadi perlu pembiayaan dari
swasta,” katanya.
Maka itu, lanjut dia, pemerintah harus menciptakan kesetaraan bisnis energi
non-fosil (EBT) dengan energi fosil. Selama ini energi fosil mendapat subsidi
dari pemerintah cukup besar, sementara untuk EBT relatif masih minim.
“Pihak swasta berharap ada keberpihakan dari pemerintah. Harus ada subsidi
untuk EBT,” katanya.
Menurut dia, salah satu kendala pokok yang dihadapi para pengembang pembangkit
EBT adalah masalah harga yang tidak sesuai dengan keekonomian. Harga listrik
dari pembangkit EBT selalu di atas daya beli PLN yang diukur dengan Biaya Pokok
Penyediaan (BPP).
Selain itu, ia berharap perijinan usaha penyediaan tenaga Iistrik dari energi
baru terbarukan dapat lebih mudah yang akhirnya dapat memperbaiki peringkat
Indonesia dalam kemudahan berinvestasi.
Dalam kesempatan itu, Surya Darma juga mengatakan pemerintah perlu lebih
mendorong kebijakan untuk mempercepat pencapaian tingkat pemanfaatan EBT dalam
bauran energi primer nasional, salah satunya mengalihkan subsidi energi fosil
untuk pembiayaan EBT. (sr)