Kamis, 19 Desember 2019
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengingatkan Pemerintah Daerah agar membangun kesadaran kolektif dalam mempersiapkan diri menghadapi berbagai macam hal yang berkaitan dengan kebencanaan. Hal itu ditekankan Doni pada saat kunjungan kerja ke sejumlah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (18/12).
Hal yang mendasari Mantan Komandan Jenderal Kopassus untuk tak henti-hentinya memberikan pengertian tentang pentingnya melakukan upaya pencegahan dan kesiapsiagaan tersebut adalah mengingat bahwa peristiwa alam yang menjadi bencana memiliki hari ulang tahunnya. Akan tetapi tidak semua bencana dapat diprediksi kapan akan terjadi dan sebesar apa peristiwa alam tersebut berdampak bagi manusia.
”Bangun kesadaran kolektif setiap elemen masyarakat. Langkah-langkah pra-bencana bukan milik satu lembaga, melainkan seluruh pihak, urusan bersama,” kata Doni dalam pertemuan dengan Gubernur NTT Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi di Kantor Gubernur NTT, Kupang.
Wilayah NTT sendiri termasuk dalam kawasan yang memiliki potensi rawan bencana, khususnya bencana geologi dan vulkanologi. Jika menengok beberapa catatan sejarah kelam, pada 12 Desember 1992 gempa berkekuatan magnitudo 7,8 pernah mengguncang Flores yang kemudian disusul gelombang tsunami setinggi 25 meter dan menewaskan sekitar 2.100 orang. Bencana yang berpusat di lepas pantai utara Flores itu juga menghancurkan 90 persen bangunan di Maumere.
Sekitar dua dekade sebelumnya, tepatnya pada tanggal 18 Juni 1979 gelombang tsunami tiba-tiba datang menghantam pesisir Teluk Waiteba pada sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Menurut catatan dari International Herald Tribune pada 24 Juli 1979, tsunami tersebut dipicu oleh longsornya tanah dari atas lereng bukit dan menimbun empat desa. Tsunami itu menewaskan 539 orang, sebagian terkubur akibat tertimbun material longsoran di empat desa. Menurut laporan penelitian geolog Raphael Paris beserta timnya, jumlah korban berkisar antara 550 hingga 1.200 jiwa.
Kemudian dua tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1977 gempa bumi bermagnitudo 8,3 di lepas pantai selatan Sumba, Nusa Tenggara Barat (NTB) memunculkan tsunami setinggi 15 meter. Peristiwa tersebut menewaskan sedikitnya 316 orang dan 1.100 lainnya luka-luka.
Sejumlah rentetan sejarah bencana yang terekam di wilayah NTT dan NTB tersebut diharapkan dapat menjadi pengingat dan pembelajaran ke depannya bagi Pemerintah Daerah setempat agar dapat menyiapkan langkah-langkah strategis pra-bencana meliputi pencegahan, kesiap siagaan, peningkatan kapasitas baik lembaga maupun sumber daya manusianya dan memasukkan upaya mitigasi bencana ke dalam anggaran daerah.
Lebih lanjut, Jenderal yang sukses mempelopori program Citarum Harum itu juga menyoroti tolak ukur kepemimpinan di daerah yang mampu membuat rakyat tidak menjadi korban bencana.
”Cara memimpin yang kurang memperhatikan kesiapsiagaan bencana
dapat merugikan masyarakat. Untuk itu, kami terus mendorong para pemimpin di daerah agar ke depan dapat lebih siap menghadapi bencana,” ucap Doni, dikutip laman BNPB.
Minimnya Kesadaran
Menanggapi arahan dari Kepala BNPB, Gubernur NTT Viktor Lasikodat mengemukakan bahwa memang masih banyak kepala daerah yang belum memberikan prioritas pemahaman mitigasi bencana kepada masyarakat di setiap daerahnya. Padahal, antisipasi bencana alam yang berkesinambungan sangat perlu dilakukan.
Menurutnya, masih banyak kepala daerah yang menganggap remeh pemahaman mitigasi terlebih karena dana tidak ada dan dampaknya tidak terasa secara langsung. Hal tersebut masih jauh berbeda apabila dibandingkan dengan program-program lain seperti pembangunan infrastruktur dan sarana serta prasarana penunjang lainnya.
”Kalau dananya ada dan besar seperti pembangunan jalan dan rumah sakit, mereka akan berpikir cepat. Namun, kalau dananya tidak ada atau sedikit, bagaimana mereka akan memikirkan strategi pra-bencana,” ujar Viktor.
Kendati demikian, Viktor sangat mengapresiasi kehadiran BNPB yang telah membukakan mata para kepala daerah terhadap pentingnya program pra-bencana tersebut. Sebab, perubahan perspektif itu harus dimulai dari kepala daerah masing-masing.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi menambahkan adanya sejumlah peristiwa alam yang juga perlu diantisipasi di wilayah NTT, yakni kekeringan dan letusan gunung api. Sebab, hampir di setiap wilayah kabupaten NTT memiliki gunung api.
Oleh karena itu, pada 2020 Pemerintah Provinsi NTT akan mengirimkan putera daerah yang berprestasi untuk belajar ilmu seismograf dan mitigasi tentang gunung api. Menurutnya, sumber daya manusia merupakan modal penting bagi upaya-upaya mitigasi bencana alam, terutama letusan gunung api.
”Sekali meletus, Pulau Flores ini sangat mungkin tenggelam, NTT juga bisa tenggelam. Dan, kami harus bisa membaca itu semua agar mengerti apa saja yang perlu diperhatikan sebelum terjadi,” ujar Josef.
Sebagai catatan, NTT memiliki 12 kabupaten dan 1 kota. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi mencatat, NTT memiliki 17 gunung berapi aktif. (dya)