Rabu, 1 Juli 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM-Kalangan dunia usaha mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Karya atau Omnibus Law guna mendukung perbaikan iklim investasi di Indonesia agar bisa menekan tingkat pengangguran, terutama dengan adanya pandemi Covid-19.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani dalam webinar bertajuk “RUU Cipta Kerja dan Ekonomi Pandemi: Opini Publik Nasional”, Selasa (30/6), mengatakan RUU Cipta Kerja berisi banyak unsur yang bahkan sudah dibutuhkan sebelum adanya Covid-19.
“Kalau dilihat dari tingkat daya saing, kita ini sangat di bawah, bahkan di ASEAN. Maka setelah Covid, ini menjadi lebih penting lagi agar RUU Cipta Kerja ini bisa segera diproses oleh DPR,” katanya.
Shinta menuturkan pemerintah perlu melihat dari perspektif jangka panjang di mana Indonesia harus bersaing ketat dengan negara lain yang melakukan hal yang sama untuk meningkatkan daya saing.
Hal itu juga kemudian berkaitan dengan ranking Ease of Doing Business (EoDB) Indonesia yang meski ada perbaikan nilai, namun posisinya tetap stagnan. Menurut Shinta, itu terjadi bukan karena Indonesia tidak melakukan reformasi, tapi justru karena negara lain lebih cepat melakukan reformasi.
“Jelas kami mau ambil peluang, tapi kalau kita tidak bisa kompetisi, maka peluang itu akan diambil negara lain. Maka, ini momentum tepat bagi Indonesia saat ini bahwa pembenahan harus dilakukan cepat dan tepat karena kalau tidak, kita akan ketinggalan kereta lagi,” imbuhnya.
Sementara itu. Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas menjelaskan pihaknya telah menyelesaikan beberapa bab dari total 15 bab dalam RUU Cipta Kerja, termasuk bab mengenai kemudahan dan perlindungan serta pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Kita berusaha agar penciptaan lapangan pekerjaan ini jadi hal yang tidak terpisahkan dari tujuan RUU Cipta Kerja sebagai roadmap menyiapkan regulasi kemudahan investasi,” katanya.
Berdasarkan data Kadin, sebelum Covid-19, tingkat pengangguran terbuka sekitar 7 juta orang, atau sekitar 5%.
Setiap tahunnya, ada 23 juta pekerja yang terdampak otomatisasi dan 248 ribu pekerja di-PHK. Namun, sejak ada Covid-19 selama tiga bulan terakhir, sydah ada lebihd ari 6 juta pekerja yang dirumahkan dan di-PHK. Angka tersebut belum termasuk pekerja informal. (ki)