Selasa, 9 Februari 2021
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, Kementerian Perdagangan berupaya meningkatkan ekspor nonmigas untuk mendorong pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Salah satu caranya, dengan mengoptimalkan perjanjian perdagangan internasional.
Hal itu dikatakan Mendag saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional Indonesia Economic
Outlook (IEO) 2021 secara virtual, Senin (8/2). Seminar IEO’21 diselenggarakan oleh Kajian
Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas
Indonesia. Seminar bertema “Post-Pandemic Recovery: A Resurgence of Indonesia’s Economy”
tersebut dihadiri sekitar 2000 peserta secara virtual.
Turut hadir sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia
Airlangga Hartarto, Menteri Riset dan Teknologi Indonesia Bambang Brodjonegoro, Kepala
Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen, Wakil Menteri Keuangan
Suahasil Nazara, Aida S. Budiman, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu, dan Staf
Ahli Bidang Ekonomi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indra Darmawan
“Untuk mencapai target pertumbuhan ekspor nonmigas, kita harus membuka pasar Indonesia dan
berkolaborasi dengan berbagai negara melalui perjanjian dagang yang sudah ada. Hal itu
sekaligus sebagai upaya meningkatkan nilai tambah masing-masing produk yang diekspor,” ujar
Mendag Lutfi.
Sejumlah perjanjian perdagangan yaitu Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP),
Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IKCEPA), Indonesia-Pakistan
Preferential Trade Agreement (IP-PTA), Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership
Agreement (IA-CEPA), Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA)
dan lainnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong ekspor produk lebih banyak.
Neraca perdagangan Indonesia pada 2020 mencatatkan surplus sebesar USD 21,7 miliar dan
menjadi yang tertinggi sejak 2012. Namun, hal ini perlu diwaspadai karena surplus neraca
perdagangan disebabkan penurunan impor yang lebih tajam dibandingkan penurunan ekspornya.
Ekspor selama 2020 hanya turun 2,6 persen (YoY), sementara impor turun hingga 17,3 persen
(YoY).
Mendag Lutfi mengungkapkan, ada tiga negara yang menjadi sumber surplus neraca perdagangan
terbesar Indonesia, yaitu dengan Amerika Serikat (surplus USD 11,13 miliar), India (USD 6,47
miliar), dan Filipina (USD 5,26 miliar). Lima produk ekspor dengan pertumbuhan positif tertinggi
pada 2020/2019 (YoY) adalah besi baja sebesar 46,84 persen, perhiasan 24,21 persen, minyak
sawit mentah (crude palm oil/CPO) 17,5 persen, furnitur 11,64 persen, dan alas kaki 8,97 persen.
Menurut Mendag Lutfi, pada 2020, komoditas besi baja menempati urutan ke-3 pada ekspor
nonmigas Indonesia dengan kontribusi sebesar 7 persen atau senilai USD 10,85 miliar. Indonesia
merupakan negara penghasil komoditas besi dan baja terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Bahkan, lebih dari 70 persen besi baja Indonesia diekspor ke Tiongkok.
Komoditas perhiasan juga menjadi andalan ekspor Indonesia. Produk perhiasan pada 2020
menempati urutan ke-5 pada ekspor nonmigas Indonesia dengan kontribusi sebesar 5,3 persen
dengan nilai USD 8,2 miliar. Hampir 80 persen produk perhiasan diekspor ke Singapura, Swiss, dan
Jepang.
Selain itu, untuk memastikan ekspor terus berjalan, pemerintah akan terus mengawal dan
memastikan pengamanan perdagangan produk-produk Indonesia di luar negeri dengan diplomasi
perdagangan.
“Selama pandemi Covid-19, tercatat ada 37 kasus pengamanan perdagangan dari
14 negara, terdiri dari 24 kasus antidumping dan 13 kasus safeguard. Pemerintah juga
berkomitmen menjalani proses baku penyelesaian sengketa di WTO terkait bahan mentah
Indonesia dan hambatan perdagangan produk biodiesel berbahan baku minyak sawit oleh Uni
Eropa,” kata Mendag. (ray)