Kamis, 19 September 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Penerimaan cukai pada 2020 diprediksi stagnan karena
kemungkinan produsen akan mengurangi produksi rokok setelah pemerintah
berencana menaikkan tarif cukai 23% dan
harga jual eceran 35%, kata pengamat perpajakan Yustinus Prastowo.
“Secara alamiah, kenaikan harga rokok seharusnya mengurangi
konsumsi,” katanya di Jakarta, Rabu (18/9).
Namun, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu menambahkan
kenaikan tarif cukai belum tentu diikuti kenaikan penerimaan.
Ia menyebut satu persen kenaikan tarif hanya mampu mendorong penerimaan di
bawah satu persen.
Sebaliknya, relaksasi tarif cukai, lanjut dia dinilai mampu mendorong
penerimaan yang signifikan namun upaya itu tidak mendukung pengendalian
konsumsi.
“Kami perlu lihat tahun 2020 apa betul konsumsi akan turun, apa betul ini
secara alami mengurangi, mengatur cukai,” katanya.
Ia menilai kenaikan tarif dan harga jual eceran yang akan berlaku 1 Januari
2020 itu lebih condong untuk mengendalikan konsumsi rokok.
“Ini karena pemerintah sudah melihat kenaikan tarif saja tidak pernah
cukup dengan pengendalian, maka ditambah kenaikan harga eceran. Ini eksperimen
sebenarnya,” ujarnya.
Di sisi lain, ia mengharapkan agar pemerintah juga meningkatkan pengawasan
karena kenaikan tarif dan harga jual eceran mendorong peredaran barang kena
cukai ilegal.
Yustinus juga mengharapkan agar pemerintah dan instansi terkait termasuk pelaku
usaha duduk bersama merumuskan peta jalan komprehensif yang melibatkan
multipihak.
Pihak terkait itu di antaranya Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kesehatan.
Yustinus menjelaskan cukai rokok mendominasi porsi penerimaan cukai sebesar 95
persen dari target tahun ini mencapai Rp 212 triliun. (ki)