Rabu, 2 Oktober 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan bersinergi guna
meningkatkan perlindungan dan kompetensi dari awak kapal penangkapan ikan.
“Ini harus kita perhatikan, agar awak kapal penangkapan ikan bisa
terhindar dari D3 (dirty, dangerous, difficult), diharapkan ke depannya
menjadi C3 (clean, clear, competent),” kata Menteri Koordinator
Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Peraturan
Presiden No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Awak Kapal
Penangkapan Ikan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Rabu (2/10).
Menurut Luhut, peningkatan kompetensi serta sekaligus melindungi awak kapal
penangkapan ikan merupakan hal yang penting guna menyelaraskan upaya pemerintah
yang ingin membuat industri perikanan sebagai salah satu soko guru perekonomian
nasional.
Menko Maritim juga menegaskan agar berbagai pilar perlindungan perlu dilengkapi
dengan penguatan regulasi, seperti diberlakukannya Perpres No 18/2019 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas Jaga
bagi Awak Kapal Penangkapan Ikan.
“Seluruh K/L (Kementerian/Lembaga) agar bisa menindaklanjuti implementasi
amanat konvensi ini,” katanya.
Menko Maritim juga menegaskan agar tidak hanya seremonial saja, tetapi berbagai
pihak terkait juga mengecek pelaksanaan di lapangan.
Sebelumnya, pengamat sektor kelautan dan perikanan Moh Abdi Suhufan meminta
berbagai institusi terkait agar menyelaraskan beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan ABK kapal ikan WNI yang
bekerja di luar negeri.
Moh Abdi Suhufan menyatakan saat ini pemerintah perlu melakukan sinkronisasi
aturan dan menetapkan kementerian mana yang menjadi leading sector dalam
mengatur terkait penempatan ABK kapal ikan asal Indonesia di luar negeri.
“Saat ini ada tiga regulasi setingkat UU yang memungkinkan pengiriman ABK
kapal ikan keluar negeri sesuai dengan kepentingan dan mekanismenya
masing-masing,” kata Abdi Suhufan.
Abdi yang juga menjabat sebagai Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch
(DFW) itu mengungkapkan tiga UU itu adalah UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan UU Nomor 18
Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Ia berpendapat bahwa keberadaan ketiga UU tersebut dan turunannya membuat
kebingungan dan menjadi celah terjadinya pelanggaran. “Hal ini menyebabkan
ketidaksatuan proses pelayanan dan belum adanya standar dokumen bagi pekerja
tersebut,” kata Abdi. (sr)