Kamis, 3 Oktober 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan
Indonesia membutuhkan fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah dengan
teknologi Hidrometalurgi guna mendukung percepatan industri mobil listrik.
“Dalam mata rantai peningkatan nilai tambah nikel, yang belum ada di
Indonesia adalah fasilitas pemurnian (smelter) untuk mendukung industri
kendaraan listrik,” ujar Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral
Kementerian ESDM, Andri Budhiman Firmanto di Jakarta, Rabu (2/10).
Andri menjelaskan bahwa kalau teknologi hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid
Leaching) itu berbeda dari pirometalurgi dalam proses pemurnian bijih nikel.
Kalau pirometalirgi analogi sederhananya tanah dibakar sehingga menjadi logam
karena tanahnya akan mengalami proses metalisasi dan menjadi logam.
Sedangkan dengan menggunakan teknologi Hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid
Leaching), bijih nikel kadar rendah dapat dimurnikan menjadi produk Mixed
Hydroxide Precipitate, Nickel Sulfat dan Cobalt Sulfat sebagai bahan baku
precursor.
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, 40% dari total biaya manufaktur
mobil listrik adalah dari baterai.Baterai kendaraan listrik menggunakan tipe
baterei lithium ion dengan bahan baku katodanya adalah Nikel, Cobalt,Lithium,
Mangan, dan Aluminium.
Menurut Andri, fasilitas dengan teknologi Hidrometalurgi HPAL Ini belum ada di
Indonesia sehingga hal itulah yang menyebabkan Kementerian ESDM memberlakukan
pelarangan ekspor nikel pada tahun 2020 dan momentumnya dinilai pas dengan
kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan industri kendaraan listrik
di dalam negeri.
Dalam paparannya, Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral tersebut
menjelaskan bahwa terdapat enam rencana pembangunan fasilitas pemurnian bijih
nikel kadar rendah dengan teknologi hidrometalurgi, antara lain dua proyek
berlokasi di Sulawesi Tenggara, dua proyek di Sulawesi Tengah, dan
masing-masing satu proyek di Maluku Utara serta Banten.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di
dunia untuk memproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah
atau disebut limonite dengan kandungan nickel (0,8%-1,5%) dan cobalt yang
tinggi (0.07%-0,2%).
Pemanfaatan nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai menjadi prioritas
sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis BateraI untuk Transportasi Jalan.
Sisi suplai Indonesia memiliki potensi yang besar dan dari sisi pemanfaatan
saat ini berada pada momentum yang sangat tepat sehingga dapat melengkapi
rantai suplai industri nikel yang berbasis sumber daya alam. Total kebutuhan
bijih nikel kadar rendah pada tahun 2021 akan mencapai 27 juta ton/tahun.
Sehingga kebijakan yang tertuang dalam Permen 25 yang sebelumnya mengizinkan
bijih Nikel kadar rendah untuk diekspor perlu diatur kembali, dengan
diterbitkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 bahwa ekspor nikel dengan kadar
lebih kecil dari 1,7% Ni hanya sampai 31
Desember 2019, sehingga tata niaga penjualan bijih Nikel dapat memberikan
manfaat yang lebih besar dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
(sr)