Kamis, 3 Oktober 2019
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM- Manfaat ekonomi atas program tol laut hingga kini baru
sebatas dinikmati pelaku usaha dan perbaikan disparitas harga belum sepenuhnya
dirasakan masyarakat.
“Efektivitas tol laut baru sebatas memangkas biaya pengiriman antarpulau
30%-50% lebih murah dibanding kapal komersial,” kata Peneliti Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia (FEB UI) M Halley Yudhistira di Jakarta, Rabu
(2/10).
Ia menuturkan kendala utama efektivitas tol laut yang rendah itu karena muatan
balik yang sering kosong, jadwal kedatangan yang tidak teratur hingga
transparansi kuota dan prioritas muatan.
Yudhistira juga mengkritisi program tol laut yang tidak diikuti dengan
efisiensi ongkos distribusi barang dari daerah pelabuhan ke daerah hinterland
(daerah pemasok).
“Ketika tol laut digaungkan ingin mendorong penurunan harga, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tapi hanya touch in kepada port to
port. Kurang bisa touch in bagaimana dia sampai ke masyarakat.
Masyarakat kan beli di toko, bukan di pelabuhan,” ujarnya.
Yudhistira juga menuturkan di beberapa daerah, pasar masih dikuasai segelintir
distributor sehingga persaingan usaha kurang kompetitif dan harga sulit turun.
“Ada oligopoli, ada permainan dari pemain, jadi meski harga logistik
turun, tapi karena dia tidak punya lawan, dia tidak menurunkan harga
signifikan,” imbuhnya.
Ia menambahkan jalur tol laut yang terlalu panjang juga telah membuat program
tersebut tidak menarik bagi pasar. Pasalnya, kondisi tersebut membuat arus
barang tidak optimal sehingga penurunan harga yang jadi tujuan sulit tercapai.
Selanjutnya, program tol laut juga diharapkan bisa dilengkapi dengan
pembangunan infrastruktur pendukung yang baik agar biaya logistik bisa ditekan.
Kolaborasi dengan pelayaran rakyat juga dibutuhkan agar program tersebut lebih
optimal masuk ke wilayah-wilayah sasaran.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Riset Ekonomi Samudera Indonesia Ibrahim
Kholilul Rohman menjelaskan meski operator kerap dianggap menikmati dampak
ekonomi tol laut, namun angkutan laut bukanlah penyumbang terbesar dalam biaya
logistik.
Ia juga menegaskan transportasi laut tidak bisa antara wilayah satu dengan yang
lainnya karena perbedaan jarak, jenis kargo hingga kompleksitas layanan juga
sangat berpengaruh.
“Jadi tidak seragam, tidak linier dan tidak homogen. Freight rate
itu kadang dominan, kadang tidak, tapi tendensinya untuk kontainer lebih kecil
dibandingkan bulk,” katanya.
Ibrahim menambahkan terminal handling charger (THC) juga dinilai
kontradiktif dengan visi pemerintah untuk menurunkan biaya logistik, sehingga
dapat menekan disparitas harga antara wilayah barat dan timur.
“THC ini mau kontainer kosong, penuh atau setengah penuh, tetap harus
bayar penuh. Ini kontradiktif dengan menurunkan biaya logistik. Kalau ada upaya
pemerintah dukung logistik domestik berkembang, THC bisa disesuaikan,”
katanya. (ki)