Senin, 25 November 2019
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Jelang 1 tahun tsunami Selat Sunda yang dibangkitkan oleh aktifitas erupsi Gunung Krakatau, ahli tsunami BNPB, Abdul Muhari mempublikasikan 2 artikel ilmiah di dua jurnal international.
Jurnal pertama memberikan gambaran aktual dampak terjangan tsunami yang sangat masif di tiga pulau kecil sekitar Gunung Anak Krakatau, Pulau Panaitan dan Ujung Kulon. Kerusakan hutan pantai di kawasan ini sangat parah sehingga diasumsikan bahwa tsunami yang menghantam kawasan ini seharusnya adalah tsunami yang “sangat besar”.
Asumsi tsunami yang “sangat besar” ini kemudian dibuktikan dengan hasil pemodelan fisik dan numerik pembangkitan tsunami Krakatau 2018 dari hasil kerja sama dengan ilmuwan Inggris dan Jepang, yang memberikan indikasi bahwa tinggi awal gelombang tsunami yang terbentuk akibat runtuhnya bagian utara-barat Gunung Anak Krakatau mencapai 100-150m. Jelas bahwa pada tahap awal setelah pembangkitan, tsunami Krakatau 2018 bukanlah termasuk golongan tsunami kecil tetapi mungkin bisa digolongkan kepada tsunami raksasa.
Lalu pertanyaan kenapa kemudian tsunami yang sampai di pesisir Lampung dan Banten tidak terlalu signifikan meskipun tetap menimbulkan kerusakan infrastruktur pada jarak hingga 200 m dari bibir pantai? Abdul Muhari mengemukakan bahwa keberadaan pulau-pulau kecil sekitar Gunung Anak Krakatau memberikan efek ‘perlindungan’ (sheltering effect) dan berfungsi sebagai natural barrier terhadap wilayah Lampung dan Banten sehingga dampak tsunami di kawasan ini tidak terlalu parah. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi apabila tidak ada tiga pulau di sekeliling Gunung Anak Krakatau yang menghalangi secara langsung penjalaran gelombang ke kawasan Lampung dan Banten.
Beberapa hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam temuan pada dua jurnal tersebut adalah,
1. Belum pernah diteliti dengan mendalam sebelumnya, tsunami akibat longsoran atau aktifitas gunung berapi bisa membangkitkan tsunami yang sangat besar. Tinggi Gunung Anak Krakatau sebelum kolaps adalah 338 m dan setelah kolaps 110 m, artinya 228 m tinggi puncak Gunung Anak Krakatau yang kolaps masuk ke badan air mampu membuat gelombang awal tsunami dengan ketinggian hingga 150m . “Pengalaman tsunami Anak Krakakatau tahun 2018 ini membuktikan bahwa ancaman tsunami yang bukan disebabkan oleh gempa (non-tectonic induced tsunami) merupakan potensi bahaya yang luar biasa sehingga perlu diwasapadai dan disiapkan peringatan dini serta upaya mitigasi potensi risiko nya dengan baik. Selain Selat Sunda, Maluku dan Maluku Utara merupakan kawasan dengan potensi non-seismic induced tsunami yang tinggi,” ungkap Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Senin (25/11) .
2. Meskipun tidak berlaku umum, keberadaan pulau-pulau kecil di sekitar lokasi daerah pembangkitan tsunami dalam beberapa kondisi tertentu dapat mereduksi tinggi tsunami, akan tetapi perlu dipastikan bahwa hutan pantai di lokasi tersebut berada dalam kondisi baik sehingga dapat mereduksi tinggi tsunami yang datang sekiranya terdapat pemukiman. (ray)