Selasa, 21 Januari 2020
Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM- Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 39 Tahun 2019 yang mengatur soal kewajiban tanam bagi importir bawang putih dinilai memberi ketidakpastian pada pelaku usaha.
Ketua II Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) Pusbarindo Valentino dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR menyatakan,
Permentan
Nomor 39 Tahun 2019 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)
tersebut memiliki perbedaan dari aturan sebelumnya, yakni Permentan Nomor 38
Tahun 2017.
“Tidak
ada kepastian, karena dalam peraturan yang baru, kita tidak tahu RIPH kita di-approve
atau tidak. Di peraturan sebelumnya, tanam dulu sebelum RIPH terbit, sekarang
dapat RIPH dulu baru tanam,” katanya, Senin (20/1).
Dalam Permentan 38/2017 disebutkan bahwa importir bawang putih diwajibkan melakukan
penanaman bawang putih sebesar lima persen dari total kuota impor yang akan
diajukan kepada pemerintah.
Dari total kewajiban tanam itu, importir baru harus bisa menghasilkan produksi
25% bawang putih dari kuota wajib tanam
untuk bisa mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) dari
Kementan.
Sementara importir lama harus memproduksi 10% agar RIPH terbit. Produksi tersebut
diperuntukkan menjadi benih bawang putih yang akan ditanam kembali dalam
periode selanjutnya.
Valentino menilai Permentan 38/2017 ini berfungsi sebagai filter untuk
mengurangi rendahnya tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi
kewajibannya.
“Mestinya mekanisme seperti ini dipertahankan untuk memfilter supaya tidak
ada perusahaan abal-abal yang mengajukan impor,” kata dia.
Menurut dia, Permentan 39/2019 ini tidak kuat untuk memberi jaminan bahwa
importir melakukan wajib tanam. Pelaku usaha hanya akan melaksanakan wajib
tanam setelah RlPH terbit, yang waktunya belum tentu bertepatan dengan waktu
musim tanam.
Akibatnya, benih yang sudah siap tanam bisa tidak terserap dan mungkin tidak
ditanam oleh petani karena tidak ada dukungan modal. (sr)