Rabu, 12 Februari 2020
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM-Merebaknya wabah virus corona di China seharusnya dipandang
sebagai peluang untuk mewujudkan kemandirian produksi bawang putih di Tanah Air,
kata pakar sosial ekonomi pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Irham
berpendapat bahwa.
“Kejadian ini seharusnya bisa kita pandang sebagai peluang untuk
mengembangkan bawang putih secara mandiri. Seluruh dinas pertanian yang punya
potensi (budi daya) bawang putih dikembangkan saja,” kata Irham di
Yogyakarta, Rabu (12/2)
Meski demikian, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM ini memastikan bahwa tanaman
bawang putih bukanlah media penularan virus corona seperti rumor yang
berkembang.
Menurut Irham, selama ini beberapa sentra produksi bawang putih di Indonesia
seperti di Tawangmangu, Jawa Tengah serta Sukabumi, Jawa Barat, belum
dikembangkan secara optimal.
Padahal, kata dia, jika serius dikembangkan, di Tawangmangu terdapat varietas
bawang putih yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan bawang putih impor.
“Varietas bawang putih (di Tawangmangu) itu bagus hasilnya karena
dikembangkan dengan teknologi. Jadi kita memang berpacu dengan teknologi,”
kata dia.
Menurut dia, produk bawang putih yang diekspor negara lain seperti China ke
Indonesia juga dikembangkan dengan rekayasa teknologi. Pengembangannya dengan
kultur jaringan sehingga hasilnya bisa seragam dan kemudian banyak diminati
oleh pasar.
“Mereka bikin jenis bawang putih yang seragam dan mungkin lebih unggul
dengan rekayasa teknologi,” kata Irham.
Oleh sebab itu, ia menilai persoalan kemandirian bawang putih bukan disebabkan
persoalan tanah yang tidak cocok. Menurutnya, problemnya terletak pada seberapa
besar keseriusan pemerintah mewujudkan kemandirian bawang putih sehingga bisa
lepas dari impor.
Kendati tidak serta merta dapat menggantikan seluruh bawang putih impor, ia
berharap dengan mengoptimalkan pengembangan produksi bawang putih, setidaknya
selama kurun 10 tahun ke depan sudah tidak bergantung dengan bawang putih
impor.
Ia mencontohkan tekad untuk swasembada itu seperti yang dilakukan oleh
Pemerintah Iran. Swasembada berhasil diwujudkan saat Amerika Serikat (AS)
mengembargo pasokan gandum ke negara itu.
“Iran itu kan diembargo gandum Amerika. Pemerintah Iran kemudian bertekad
untuk swasembada gandum. (Hasilnya) 10 tahun kemudian berhasil swasembada, dan
10 tahun berikutnya ekspor ke Amerika,” kata dia.
Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri Disperindag DIY Yanto Apriyanto saat
ditemui di Kantor Disperindag DIY, Selasa (11/2) menjelaskan bahwa selama ini
sekitar 95 persen kebutuhan bawang putih di Indonesia memang dipenuhi oleh
bawang putih impor yang sebagian besar berasal dari China.
Bawang putih dari petani lokal Indonesia seperti dari Garut, Brebes,
Temanggung, hingga NTT, menurut dia, hanya 5% karena tidak banyak diminati konsumen.
“Memang untuk jenis bawang putih di Indonesia umbinya kecil-kecil sehingga
tidak banyak diminati. Berbeda dengan bawang impor yang besar-besar,” kata
Yanto.
Sebagai informasi, Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian pada Jumat (7/2)
telah menerbitkan izin Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk
bawang putih sebesar 103.000 ton dari China.
Keputusan membuka impor bawang putih dilakukan karena stok yang kian menipis.
Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), harga
bawang putih Nasional hingga Senin (10/2) sudah mencapai Rp 55.300 per
kilogram. (ki)