Selasa, 10 Maret 2020
Jakarta,
MINDCOMMONLINE.COM- PT Pertamina disarankan segera menurunkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) karena harga minyak dunia turun drastis sampai di bawah US$ 50 per
barel setelah OPEC berupaya menurunkan produksi hingga 1,5 juta barrel, tetapi
Rusia yang non OPEC menolaknya.
“Jika tidak ada penurunan produksi, maka harga minyak dunia bisa semakin
rendah mencapai di bawah US$ 40 per barrel,” kata pengamat ekonomi energi
dari UGM Fahmy Radhi , Senin (9/3).
Fahmy menjelaskan tidak bisa dihindari margin Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(K3S) pasti turun, bahkan kalau harga minyak dunia terus turun sampai sekitar US$
30 per barel, K3S harus menanggung kerugian potensial.
Pertamina harus segera menurunkan semua harga BBM, baik yang non-subsidi maupun
subsidi.
“Pertamina jangan hanya menaikkan harga BBM pada saat harga minyak dunia
naik, tapi juga harus menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia
turun,” tegas dia.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi
Luhut Binsar Pandjaitan menilai anjloknya harga minyak dunia harus dicermati
baik-baik.
“Tadi saya juga bilang di Istana, harga (minyak) ini kita mesti cermati
baik-baik, ndak boleh juga buru-buru karena yang kena bukan Indonesia saja tapi
dunia kena sekarang,” kata dia.
Saat ditanya apakah pemerintah perlu menurunkan harga BBM karena harga minyak
dunia yang anjlok, Luhut menjawab, “Ya nanti, pelanlah. Baru satu hari
kan. Ini kan hanya perkelahian antara Rusia dan Saudi. Jadi ndak boleh
buru-buru. Lihat yang begini ini mesti cermat.”
Luhut menambahkan, situasi dunia saat ini masih terdampak wabah virus corona
yang begitu masif mencapai banyak negara.
Namun Luhut menyebut penyebaran virus tersebut di China sudah mulai mereda
sehingga diharapkan keadaan bisa segera pulih.
Dia meminta masyarakat mendengar pengumuman soal corona dari sumber resmi dan
bukan hoaks.
Harga minyak dunia turun signifikan lebih dari 20% di mana minyak mentah West Texas Intermediate
(WTI) dan Brent Oil masing-masing turun 21,5% ke level US$ 32,4 per barel dan 22% menjadi US$ 35,31 per barel. (sr)