Defisit APBN 2020 Diperkirakan Capai 6,27% PDB

Oleh rudya

Kamis, 28 Mei 2020

Jakarta, MINDCOMMONLINE.COM – Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah hingga akhir bulan pertama triwulan kedua 2020 mengalami tekanan, dimana baru mencapai 31,21 persen dari target pada APBN-Perpres 54/2020 atau secara nominal berjumlah Rp549,51 triliun. Jumlah tersebut terealisasi dari Penerimaan Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang masing-masing mencapai Rp434,33 triliun dan Rp114,50 triliun, serta realisasi dari Hibah sebesar Rp0,67 triliun.

Sementara realisasi belanja negara sampai dengan akhir April 2020 sebesar Rp623,98 triliun atau telah mencapai sekitar 23,87 persen dari pagu APBN-Perpres 54/2020. Realisasi tersebut meliputi realisasi Belanja Pemerintah Pusat yang tumbuh 3,4 persen (yoy) atau sebesar Rp382,53 triliun dan realisasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) tumbuh negatif 8,0 persen (yoy) atau sebesar Rp241,45 triliun.

Berdasarkan perkembangan tersebut, realisasi defisit APBN hingga April 2020 mencapai Rp74,47 triliun atau sekitar 0,44 persen PDB. Realisasi pembiayaan anggaran hingga April 2020 mencapai Rp221,84 triliun dan mengalami peningkatan sebesar 53,58 persen (yoy), terutama bersumber dari pembiayaan utang.

Tekanan pada Pendapatan Negara terefleksi pada realisasi rendahnya penerimaan Pajak hingga akhir bulan April 2020 yang tumbuh negatif 3,1 persen (yoy) atau mencapai Rp376.67 triliun (30 persen dari target APBN-Perpres 54/2020). Beberapa sektor dominan seperti Perdagangan, Konstruksi & Real Estate, Pertambangan, dan Transportasi & Pergudangan mengalami kontraksi, meskipun beberapa sektor lainnya masih tumbuh seperti Jasa Keuangan dan Asuransi karena masih beroperasi selama pandemi Covid-19. Hampir semua jenis pajak tumbuh negatif selama periode Januari-April 2020, dimana PPh Badan terkontraksi negatif 15,23 persen akibat perlambatan ekonomi yang terlihat dari pertumbuhan negatif Setoran Masa dan Tahunan.

Demikian juga PPh/PPN Impor terkontraksi negatif 8,90 persen seiring kontraksi kegiatan impor nasional. Dampak ekonomi dari Covid-19 mulai terefleksikan dalam penerimaan pajak, akibat perluasan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan pembatasan aktivitas ekonomi. Hal ini juga tercermin dari PPN DN yang hanya tumbuh 0,82 persen secara bruto, melambat dibandingkan tiga bulan sebelumnya.

“Sinyal perlambatan penerimaan yang mulai terlihat di bulan April dan implementasi stimulus fiskal Covid-19 ini akan sangat mempengaruhi penerimaan di bulan-bulan berikutnya. Sebagai gambaran awal, penerimaan pajak untuk periode tanggal 1 sampai dengan 15 Mei 2020  sudah tumbuh sebesar negatif 28,57 persen,” ungkap Rahayu Puspasari, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, belum lama berselang.

Untuk penerimaan Kepabeanan dan Cukai, secara nominal realisasinya masih tumbuh sebesar Rp57,7 triliun atau 27,7 persen dari target APBN-Perpres 54/2020. Penerimaan ini didukung utamanya oleh penerimaan dari Cukai sebesar Rp36,2 triliun. Sementara itu, realisasi perdagangan internasional sampai dengan bulan April 2020 tumbuh negatif, dimana realisasi Bea Masuk tumbuh negatif 2,64 persen (yoy) atau sebesar Rp11,5 triliun dan realisasi Bea Keluar tumbuh negatif 34,97 persen (yoy) atau sebesar Rp0,9 triliun. Kontraksi yang cukup dalam pada pertumbuhan perpajakan perdagangan internasional ini terjadi akibat turunnya volume impor, penurunan harga komoditas, dan melambatnya aktivitas ekspor barang mineral nikel dan tembaga sebagai dampak mewabahnya Covid-19 di berbagai negara. Hal ini juga tercermin dari Neraca Perdagangan Indonesia di bulan April yang mengalami defisit sebagai akibat dari tekanan defisit di sisi migas maupun non migas.

Kemudian di sisi PNBP, realisasinya sampai dengan bulan April 2020 tercatat sebesar Rp114,50 triliun atau 38,5 persen dari target APBN-Pepres 54/2020 yang ditopang oleh penerimaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND) dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU), dimana terdapat pergeseran pembayaran dividen BUMN menjadi lebih awal dibandingkan tahun sebelumnya. Namun di sisi lain, tekanan terhadap PNBP berasal dari harga komoditas yang rendah, seperti harga minyak dan harga batubara yang menyebabkan penerimaan dari PNBP belum optimal. Harga minyak yang cenderung turun di kisaran USD25 sampai USD30 per barel yang menyebabkan PNBP minyak bumi dan gas akan mengalami penurunan.

Sementara itu, peningkatan kinerja realisasi Belanja Pemerintah Pusat tersebut antara lain dipengaruhi oleh realisasi bantuan sosial (bansos) mencapai Rp61,4 triliun dan belanja modal yang mencapai Rp20,7 triliun. Belanja bansos tumbuh sebesar 13,7 persen (yoy) untuk mendukung Jaring Pengaman Sosial (SSN) menghadapi pandemi Covid-19, melalui pemberian bantuan Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, Penyaluran Bansos Sembako untuk keluarga penerima manfaat di wilayah DKI Jakarta dan Bodetabek, serta Penyaluran Bansos Tunai bagi keluarga penerima manfaat di luar wilayah Jabodetabek. Peningkatan kinerja realisasi belanja tersebut dapat mencerminkan komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan belanja produktif serta  melindungi masyarakat miskin dan rentan. Kemudian, belanja modal tumbuh 30,6 persen (yoy) utamanya untuk kegiatan terkait pengadaan Almatsus di Polri dan penyediaan Alkes pada RS Polri dalam rangka percepatan pengendalian Covid-19.

Selain itu, sisi belanja yang mengalami pelemahan adalah belanja barang tumbuh negatif 18,8 persen (yoy) sebagai akibat dampak pandemi yang berimbas kepada pelaksanaan kegiatan. Dalam meningkatkan kualitas belanja, Pemerintah mulai mengendalikan belanja dengan belanja multiyears dan pengendalian nilai kontrak. Hal ini tercermin pada menurunnya nilai belanja yang dikontrakkan dan realisasi pagu hingga bulan April 2020 yang lebih rendah dibandingkan tahun 2019.

Adapun realisasi TKDD sampai dengan akhir April 2020 telah mencapai Rp241,45 triliun atau 31,66 persen dari pagu APBN-Perpres 54/2020. Realisasi ini tumbuh negatif 8,0 persen (yoy) yang terutama disebabkan oleh adanya realokasi dan refocusing anggaran belanja untuk percepatan penanganan Covid-19, seperti untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), pembayaran insentif dan santunan kematian tenaga medis, berbagai jenis bantuan sosial, dan insentif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 ini sempat menyebabkan sentimen negatif di pasar keuangan, termasuk di Indonesia pada awal penyebaran di bulan Maret lalu. Seiring dengan perkembangan, pada bulan April pasar keuangan dinilai kembali stabil meskipun masih diwaspadai volatilitasnya. Pemerintah mengambil kesempatan dari kondisi tersebut dengan menerbitkan SUN dalam valuta asing (global bonds) pada bulan April 2020 sebesar USD4,3 miliar atau ekuivalen Rp 68,8 triliun (dengan kurs Rp16.000) sebagai strategi pembiayaan APBN 2020 untuk menopang pembiayaan akibat adanya pandemi Covid-19.

Disamping itu, untuk memperkuat pasar domestik, Pemerintah telah melakukan sinergi dengan Bank Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 190/KMK.08/2020 antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang baru saja ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dalam ketentuan yang terdapat pada SKB tersebut, BI dapat membeli Surat Berharga Negara (SBN) jangka panjang yang bersifat tradable di pasar perdana. Selama bulan April, SKB tersebut telah diimplementasikan sebanyak dua kali, yaitu pada rangkaian lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tanggal 21 April 2020 dan lelang Surat Utang Negara (SUN) tanggal 28 April 2020.

Pemerintah juga sudah meluncurkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam PP nomor 23 tahun 2020 sebagai upaya untuk menggerakkan perekonomian, melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan kemampuan ekonomi pelaku usaha baik di sektor riil maupun sektor keuangan, termasuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

“Pandemi Covid-19 yang masih sulit diprediksi ini menyebabkan kondisi perekonomian semakin melemah. Pemerintah yang berkomitmen untuk menempatkan APBN sebagai instrumen fiskal untuk melindungi masyarakat dan perekonomian Indonesia, memproyeksikan angka defisit kembali melebar di angka 6,27 persen terhadap PDB,” jelas Rahayu.

Hal ini, lanjutnya, perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja prioritas penanganan Covid-19, termasuk di dalamnya untuk pemulihan ekonomi nasional. “Dalam menghadapi ketidakpastian terutama akibat pandemi Covid-19, Pemerintah tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian (pruden), akuntabel dan transparan,” ucapnya. (rud)


Silakan baca juga

Gunung Lewotobi Laki-Laki Erupsi, BNPB Tambah Dukungan Dana Siap Pakai

Jalan Tol Binjai – Langsa Seksi Kuala Bingai – Tanjung Pura Segera Beroperasi

Kementerian PUPR Jajaki Kerja Sama dengan Finlandia dalam Pengembangan Smart City di IKN

Leave a Comment